Social Icons

Pages

Featured Posts

Jumat, 04 Januari 2013

INTERPRESTASI DATA SPSS

Dalam perkuliahan Statistik SPSS yang kita pelajari setelah output muncul maka hal terpenting adalah interprestasi data untuk mengetahui hasilnya. Interprestasi data dari uji yang pernah kita lakukan bisa didowload disini. DOWNLOAD

Jumat, 14 Desember 2012

 

1.1 Latar Belakang Masalah
Tujuan pemerintah Indonesia sesuai dengan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Salah satu tujuan tersebut, yaitu memajukan kesejahteraan umum tercapai apabila pertumbuhan ekonomi positif. Karena itu, pertumbuhan ekonomi positif merupakan target pemerintah. Jika pertumbuhan ekonomi positif atau tinggi maka akan berdampak pada kesejahteraan rakyat. Indikator pertumbuhan ekonomi positif dapat dilihat dari meningkatnya pendapatan nasional (GNP) perkapita, dalam arti tingkat pertumbuhan pendapatan nasional harus lebih tinggi dibanding tingkat pertumbuhan penduduk. Sebaliknya Indikator Pertumbuhan ekonomi negatif dapat dilihat dari menurunnya pendapatan nasional (GNP) perkapita, dalam arti tingkat pertumbuhan pendapatan nasional lebih rendah dibanding tingkat pertumbuhan penduduk.
Untuk itu kerjasama pun dilakukan, baik secara bilateral maupun multilateral. Kerjasama secara bilateral banyak dilakukan saat ini. Kerjasama dilakukan dalam berbagai bidang. Pada bidang ekonomi Indonesia melakukan kerjasama dalam rangka meminta bantuan pinjaman modal. Secara bilateral, kerjasama semacam ini banyak dilakukan dengan Jepang dan negara-negara Eropa. Kerjasama pun dilakukan dengan lembaga-lembaga bantuan keuangan atau moneter Internasional. Lembaga-lembaga itu antara lain IMF dan IDB. Tetapi kerjasama ini lebih banyak dilakukan dengan IMF, terutama pada saat dimulainya krisis 1997.
IMF mulai memberikan bantuan secara aktif pada Indonesia tahun 1997. Pada saat itu nilai rupiah benar-benar jatuh kemudian IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar. Banyaknya bantuan diberikan tentu mempunyai dampak positif maupun negatif. Dampak positifnya adalah menyelamatkan Indonesia dari kebangkrutan. Sedangkan dampak negatifnya adalah dengan bantuan yang begitu besar membuat rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September 1997.
Banyak pihak yang menuding bahwa bantuan IMF tidak memberikan efek positif, malah memperdalam krisis yang terjadi di Indonesia. Tetapi disisi lain bantuan itu juga mampu menyelamatkan Negara dari kebangkrutan. Untuk itu perlu diberikan sedikit ulasan mengenai bagaimana dampak bantuan IMF terhadap Indonesia?



2.1 Pengenalan Tentang IMF

IMF dilahirkan di bulan Juli tahun 1944 pada konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan di Bretton Woods, New Hampshire, A.S., ketika perwakilan dari 45 pemerintah menyetujui suatu kerangka kerjasama ekonomi yang dirancang untuk menghindari terulangnya kebijakan ekonomi buruk yang turut mengakibatkan Depresi Besar (Great Depression) di tahun 1930an.
Selama dekade tersebut, pada saat kegiatan ekonomi di sejumlah negara industri utama melemah, negara-negara berusaha untuk mempertahankan ekonomi mereka masingmasing dengan cara meningkatkan hambatan untuk import; tetapi ini hanya makin mempercepat jatuhnya perdagangan dunia, tingkat output, dan kesempatan kerja. Untuk mengatasi berkurangnya cadangan emas dan valuta asing, sejumlah negara membatasi kebebasan warga negaranya untuk membeli dari luar negeri, sejumlah negara lain mendevaluasi mata uang mereka, dan sejumlah negara lain memperkenalkan pembatasan yang rumit terhadap kebebasan warga negaranya untuk memiliki valuta asing. Namun langkah-langkah tersebut justru makin memperlemah kondisi masing-masing negara, dan tak satu negarapun mampu mempertahankan keunggulan kompetitifnya dalam jangka waktu yang lama. Kebijakan “yang tidak menghiraukan dampak pada negara-negara lain” tersebut mencelakai perekonomian internasional; perdagangan dunia merosost dengan cepat, juga tingkat kesempatan kerja dan standard hidup di beberapa negara.
Ketika Perang Dunia II berakhir, negara-negara sekutu utama mempertimbangkan berbagai rencana untuk membangun kembali ketertiban dalam hubungan moneter internasional, dan pada konferensi Bretton Woods terbentuklah IMF. Beberapa perwakilan negara merancang suatu piagam (atau Pasal-pasal Perjanjian) dari suatu lembaga internasional untuk mengawasi sistem moneter internasional dan mempromosikan penghapusan pembatasan pertukaran valuta asing yang berkaitan dengan perdagangan barang dan jasa, dan stabilitas nilai tukar. IMF terbentuk di bulan Desember 1945, ketika 29 negara pertama menandatangani Pasal-pasal Perjanjian itu. Tujuan yang diemban IMF saat ini adalah sama dengan yang tercantum di dalam Akta Pendirian yang dirumuskan pada tahun 1944. Sejak saat itu, dunia telah mengalami pertumbuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya di dalam pendapatan riil. Dan walaupun manfaat pertumbuhan belum dirasakan secara merata oleh semua orang baik di dalam maupun di antara negara-negara kebanyakan negara telah melihat pertambahan dalam tingkat kemakmuran yang sangat berbeda dengan standar yang terjadi pada jaman di antara perang dunia pertama dan kedua, khususnya.
Sebagian penjelasan dari pencapaian tersebut adalah pada mengingkatnya pelaksanaan kebijakan ekonomi, termasuk kebijakan yang telah mendorong pertumbuhan perdagangan internasional dan kebijakan untuk membantu meredam siklus ekonomi yang terdiri dari pertumbuhan cepat (boom) dan keruntuhan (bust). IMF bangga telah berpartisipasi dalam perkembangan tersebut. Dalam dekade sejak Perang Dunia II, selain proses peningkatan kemakmuran, perekonomian dunia dan sistem moneter telah mengalami perubahan besar lain perubahan tersebut makin meningkatkan pentingnya dan relevansi tujuan yang merupakan mandat dari IMF, tetapi yang juga telah menuntut adaptasi maupun reformasi dari IMF.
Kemajuan cepat dalam teknologi dan komunikasi telah ikut mengakibatkan peningkatan penyatuan (integrasi) pasar internasional dan mendorong hubungan yang lebih erat di antara perekonomian nasional. Sebagai akibatnya, ketika krisis keuangan timbul di suatu negara maka akan cenderung untuk menular dengan lebih cepat di antara negara-negara. Dalam dunia yang semakin terintegrasi dan saling beketergantungan, kemakmuran setiap negara akan semakin sangat ditentukan oleh kinerja ekonomi negara lain maupun keberadaan lingkungan ekonomi global yang stabil dan terbuka. Demikian juga, kebijakan keuangan dan ekonomi yang diikuti masing-masing negara akan mempengaruhi baik atau buruknya pelaksanaan sistem perdagangan dan pembayaran dunia. Dengan demikian, globalisasi menuntut kerjasama internasional yang lebih erat, yang pada gilirannya telah meningkatkan tanggung jawab lembaga internasional yang mengorganisasi kerjasama semacam itu termasuk IMF.
Tujuan IMF juga telah menjadi semakin penting dikarenakan meluasnya keanggotaan. Jumlah negara anggota IMF sudah bertambah empat kali lipat dibandingkan dengan 45 negara yang terlibat dalam awal pendiriannya. Ini mencerminkan pencapaian kemandirian (kemerdekaan) politik oleh sejumlah negara berkembang dan dari negara-negara bekas blok Soviet. Meluasnya keanggotaan IMF dan perubahan di dalam perekonomian dunia, telah membuat IMF beradaptasi dengan berbagai cara untuk terus mampu melaksanakan tujuannya secara efektif. Negara-negara yang bergabung dengan IMF antara tahun 1945 dan 1971 setuju untuk menjaga nilai tukar mereka (pada dasarnya nilai tukar mata uang mereka dalam nilai dolar A.S., dan, dalam hal ini Amerika Serikat, nilai dolar A.S. dalam nilai emas) ditetapkan pada tingkat yang dapat disesuaikan, tetapi penyesuaian hanya untuk mengoreksi “ketidakseimbangan fundamental” dalam neraca pembayaran dan dengan persetujuan IMF. Ini kemudian disebut sistem nilai tukar Bretton Woods yang berlaku sampai tahun 1971 ketika pemerintah A.S. menangguhkan konvertibilitas dolar A.S. (dan cadangan dolar yang dipegang oleh pemerintah lain) menjadi emas.
Sejak itu, anggota IMF sudah bebas memilih setiap bentuk pengaturan nilai tukar yang mereka inginkan (kecuali meman cangkan nilai mata uang mereka pada emas): sejumlah negara sekarang mengizinkan mata uang mereka mengambang dengan bebas, sejumlah negara memancangkan mata uang mereka terhadap mata uang lain atau sekelompok mata uang, sejumlah negara lainnya mengadopsi mata uang negara lain sebagai mata uang mereka sendiri, dan sejumlah negara berpartisipasi dalam blok mata uang.
Pada waktu yang sama ketika IMF diciptakan, Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank for Reconstruction and Development atau IBRD), lebih umum dikenal sebagai Bank Dunia, didirikan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi jangka panjang, termasuk melalui pembiayaan proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan dan meningkatkan suplai air.
IMF dan Kelompok Bank Dunia yang termasuk Korporasi Pembiayaan Internasional (International Finance Corporation IFC) dan Asosiasi Pembangunan Internasional (International Development Association IDA) saling melengkapi pekerjaan masing-masing. Sementara perhatian IMF terutama pada kinerja ekonomi makro, dan pada kebijakan makro ekonomi dan sekor keuangan, Bank Dunia terutama menangani pembangunan jangka panjang dan isu-isu pengurangan kemiskinan. Kegiatannya termasuk memberikan pinjaman kepada negara-negara berkembang dan negara-negara yang berada dalam transisi, pembiayaan proyek infrastruktur, reformasi sektor ekonomi khusus, dan reformasi struktural yang lebih luas. IMF, sebaliknya, tidak menyediakan pembiayaan untuk sektor atau proyek khusus tetapi sebagai dukungan umum terhadap neraca pembayaran maupun cadangan devisa suatu negara sementara negara tersebut sedang mengambil langkah kebijakan untuk mengatasi kesulitannya.
Ketika IMF dan Bank Dunia didirikan, suatu organisasi untuk mempromosikan liberalisasi perdagangan dunia juga dipikirkan, tetapi baru tahun 1995 Organisasai Perdagangan Dunia (World Trade Organization atau WTO) dibentuk. Diselang tahun-tahun tersebut, isu-isu perdagangan diselesaikan melalui Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade GATT).

2.2 IMF dan Indonesia

Setelah krisis ekonomi 1997 peran IMF dalam menentukan kebijakan ekonomi di Indonesia sangat kuat. Kekuatan pengaruh kebijakan IMF tersebut berhasil menjatuhkan rezim Suharto, Habibie dan Abdurrahman Wahid. Bahkan pemerintahan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, nyaris menyerahkan bulat-bulat kedaulatan kebijakan ekonomi pemerintah kepada IMF. Namun tidak banyak yang mengetahui bahwa IMF dan Bank Dunia sebagai lembaga-lembaga keuangan internasional (berbasis di Washington dan didominasi oleh AS dan negara-negara barat lainnya) telah melakukan kontrol yang ketat terhadap kebijakan ekonomi negara Indonesia sejak 1966.
Ketika perekonomian Indonesia menghadapi krisis sepanjang dekade 50-an dan tahun-tahun pertama 60-an, AS dan Bank Dunia melobi pemerintahan Soekarno untuk menerima tawaran pinjaman besar kepada Indonesia. Syarat pinjaman tersebut adalah pemerintah Indonesia menjalankan langkah-langkah penghematan sangat ketat dan men-denasionalisasi-kan sektor ekonomi yang semula dimiliki pihak asing. Tawaran Bank Dunia itu ditolak oleh Presiden Soekarno dalam sebuah rapat akbar di Jakarta dengan seruan: "Go to hell with your aid!".
Tidak lama kemudian kedudukan Soekarno sebagai presiden digantikan oleh Soeharto. Bersamaan dengan itu pula (Oktober 1966), pemerintahan Soeharto menjalankan program stabilisasi yang dirumuskan dengan bantuan IMF dan menghapus semua langkah-langkah nasionalisasi pemerintahan Soekarno. Program tersebut adalah menghapuskan semua diskriminasi terhadap investasi asing dan semua perlakuan istimewa pada sektor publik. Termasuk menghapuskan sistem kontrol mata uang asing yang diberlakukan oleh rezim Sukarno. Kemudian IMF juga membatasi belanja pemerintah agar tidak melebihi 10% dari pendapatan nasional. Lalu diikuti dengan lahirnya Undang-undang Investasi Asing pada 1967. Undang-undang ini memberikan masa bebas pajak lima-tahun bagi para investor asing dan keringanan pajak selama lima tahun berikutnya.
Kontrol terhadap kebijakan ekonomi rezim Soeharto dijalankan oleh IMF dan Bank Dunia melalui Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang kemudian berganti nama menjadi CGI (Kelompok Negara dan Lembaga Kreditor untuk Indonesia). Badan ini lahir sebagai hasil diskusi diantara para kreditor Indonesia pada 1966. Pada 1967, badan tersebut beranggotakan Amerika Serikat Serikat, Jepang, Jerman Barat, Inggris, Belanda, Italia, Perancis, Kanada, dan Australia, serta IMF dan Bank Dunia.
Tiap tahun Bank Dunia menyiapkan sebuah laporan tentang kinerja mutakhir Indonesia yang didiskusikan dalam rapat IGGI, yang juga dihadiri oleh perwakilan pemerintah Indonesia. Beberapa bulan setelah pembahasan tersebut, IGGI mengadakan rapat kedua untuk memperkirakan seberapa besar bantuan (pinjaman) yang akan diberikan kepada Indonesia. Antara 1967 dan 1997, IMF dan Bank Dunia telah membuat perekonomian Indonesia sedemikian terbuka untuk didikte oleh pemodal Barat (khususnya dari Amerika Serikat Serikat) melalui dorongan untuk menjalankan deregulasi dan swastanisasi.
Pada pertengahan 1997 Indonesia mengalami krisis yang parah dan puluhan juta orang terdepak ke bawah garis kemiskinan. Namun IMF dan Bank Dunia tetap memaksa pemerintah Indonesia untuk memangkas pengeluaran pemerintah untuk sektor sosial (subsidi), melakukan deregulasi ekonomi dan menjalankan privatisasi perusahaan milik negara. Di samping itu pemerintah didesak pula untuk melegitimasi upah rendah. Seluruh tekanan itu justru meluaskan kemiskinan. Seorang birokrat senior IMF mengaku bahwa seluruh kebijakan tersebut dilakukan untuk melayani kepentingan investor asing, yang tidak lain adalah perusahaan-perusahaan besar di negara pemegang saham utama lembaga ini.
Pelayanan ini diberikan dengan cara membukakan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua sektor dan pengurangan subsidi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pangan dan perumahan. Termasuk menghilangkan subsidi pada listrik, tarif telepon dan bahan bakar minyak. Padahal menurut Bank Dunia, setengah dari seluruh rakyat Indonesia berpeluang 50:50 untuk jatuh miskin tahun itu. Sepertiga dari seluruh rakyat Indonesia tidak mempunyai akses untuk memperoleh air bersih atau layanan kesehatan atau tidak menamatkan sekolah dasar. Namun lembaga pemberi utang ini tetap saja memperburuk situasi ini dengan mengharuskaan pemerintah memotong belanja publik dan mengurangi tingkat pertumbuhan lapangan kerja dengan alasan untuk menjadikan perekonomian lebih efisien.
Yang tak kalah menarik yang perlu dikritik dari peran IMF adalah ketika lembaga ini bahkan ingin ikut campur sampai masalah-masalah detail praktek kebijakan ekonomi bahkan merambah pada kebijakan politik dari negara-negara yang dibantunya. Untuk kasus negara kita, mulai dari cengkeh dan tarif nol persen untuk beras, sampai skandal Bank Bali, audit Pertamina, mengurus RUU anti korupsi, konflik pasca penentuan pendapat di Timtim, kasus Atambua, mengejar 20 debitor terbesar, revisi APBN, mempersoalkan pergantian menko dan kepala BPPN, pasal-pasal amandemen UU BI dan yang lainnya, semuanya IMF ingin campur tangan.
Selanjutnya apa yang kita peroleh dengan menerapkan resep-resep ekonomi IMF tersebut? Pertama, penerapan rezim kurs mengambang bebas. Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa penguatan kurs selama era penerapan rezim kurs mengambang bebas yang terjadi selama era 1997-sekarang adalah karena faktor-faktor politik yang tak bisa diprediksi dan non manageable. Sangat riskan mewujudkan pemulihan ekonomi kalau faktor penting seperti kurs rupiah yang stabil dan kuat terwujud oleh faktor-faktor yang non manageable dan unpredictable tersebut. Ini akan menyulitkan para pembuat kebijakan dalam memprediksi dampak kebijakan-kebijakan fiskal dan moneternya terhadap kurs rupiah dan selanjutnya pada variabel-variabel ekonomi lainnya seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, ekspor-import dan lain-lain.
Di sisi lain regime exchange rate yang kita anut tersebut memang sangat kondusif untuk berkembangnya spekulasi perusak stabilitas dan munculnya bermacam gangguan terhadap pasar uang (Salvatore, 1996). Salvatore mengatakan, regime nilai tukar yang cenderung mengambang bebas ini membuat perilaku para pedagang valas terpacu untuk berspekulasi untuk mendapatkan keuntungan. Jika mereka tahu bahwa suatu mata uang akan mengalami depresiasi, maka mereka segera menjual mata uang tersebut karena mengharapkan depresiasi itu berlangsung terus, tanpa menghiraukan dampak jangka panjangnya. Bila penjualan secara besar-besaran ini terus terjadi, maka depresiasi yang masih dalam tahap rencana itu pun memang benar-benar akan berlangsung terus. Dampak buruknya bagi negara yang mata uangnya terdepresiasi dengan cara demikian, akan merangsang timbulnya keyakinan akan terjadinya inflasi dan akan mendorong kenaikan tingkat harga serta upah, sehingga pada akhirnya juga memacu depresiasi lebih lanjut. Negara yang bersangkutan akan terjebak dalam ”lingkaran setan” depresiasi dan inflasi.
Kedua, kebijakan moneter ketat, kebijakan ini telah banyak dikritik pedas para pengamat dan pelaku bisnis. Yang jelas kebijakan ini telah mematikan sektor riil karena sulitnya tersedia dana investasi dengan suku bunga rendah yang berdampak lanjut meningkatkan jumlah pengangguran. Disamping kebijakan tersebut juga membebani APBN. Sedangkan misi kebijakan moneter ketat untuk menekan inflasi dan capital outflow masih harus diklarifikasikan kontribusinya untuk Indonesia karena; pertama, inflasi di negara kita bukan hanya masalah moneter, tetapi juga bisa karena faktor distorsi di sektor riil, misalnya karena praktek-praktek monopoli atau oligopoli, ganjalan distribusi, KKN (transaction cost) yang tinggi yang dikenal dengan istilah supply side inflation atau inflasi yang terjadi karena rupiah yang tetap terpuruk dibandingkan dolar sehingga input produksi industri Indonesia yang pada umumnya dari luar negeri dan harus dibeli dengan dolar, menjadi naik nilainya ketika dirupiahkan, akibatnya barang-jasa yang input produksinya impor tersebut juga akan naik (import inflation).
Kedua kebijakan suku bunga tinggi untuk menekan capital outflow juga masih dipertanyakan. Karena informasi yang dapat kita tangkap dari kalangan dunia usaha, masuknya modal asing ke dalam negeri lebih besar karena masalah country risk khususnya stabilitas sosial politik dan keamanan dan law enforcement.
Ketiga, kebijakan penerapan fiskal ketat dan liberalisasi perdagangan dan sistem finansial yang termanifestasikan dalam kebijakan-kebijakan seperti pencabutan subsidi, penggenjotan pajak, privatisasi dan penjualan aset-aset perusahaan domestik secara murah dan jor - joran. Yang didapat dari kebijakan seperti ini adalah rakyat semakin sengsara karena subsidi mereka dihapuskan dan daya beli turun, tetapi penghematan uang negara tetap tidak terwujud karena korupsi tetap merajalela. Di sisi lain dengan penjualan aset domestik yang jor - joran ke pihak asing hanya berdampak pihak asing akan semakin menentukan formulasi kebijaksanaan ekonomi dan sosial Indonesia dan penguasaan devisa pun akan berada di tangan mereka dengan intensitas yang lebih besar.
Dan mungkin yang terakhir adalah membuat Indonesia berhutang sampai jumlah yang fantansis, yaitu Rp. 1.800 Trilyun. Hal ini membuat rakyat bahkan yang masih balita, menanggung sekitar Rp. 90 juta per orang. Paket – paket kebijakan yang disarankan IMF yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah krisis yang terjadi 1997 tidak tercapai. Malah hanya membuat pemerintah pusing untuk membayar tagihan hutang setiap periode jatuh temponya.

3.1 Kesimpulan

IMF atau Dana Moneter Internasional adalah lembaga keuangan internasional yang didirikan untuk menciptakan stabilitas sistem keuangan internasional. IMF didirikan pada tanggal 27 Desember 1945. Stelah sebelumnya diadakan konferensi oleh PBB di Bretton Woods, New Hampshire, AS. Markas besar IMF berada di Washington DC, AS. IMF didirikan dengan beberapa tujuan berikut ini.
a. Meningkatkan kerja sama keuangan atau moneter internasional dan memperlancar pertumbuhan perdagangan internasional yang berimbang.
b. Meningkatkan stabilitas nilai tukar uang dan membantu terciptanya lalu lintas pembayaran antarnegara.
c. Menyediakan dana bantuan bagi negara anggota yang mengalami defisit yang bersifat sementara dalam neraca pembayaran.
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai IMF, maka kegiatan-kegiatan utama IMF terdiri atas hal-hal berikut ini.
a. Memonitor kebijakan nilai tukar uang negara anggota.
b. Membantu negara anggota mengatasi masalah yang berkaitan dengan neraca pembayaran.
c. Memberikan bantuan teknis dan pelatihan dalam rangka meningkatkan kapasitas institusi serta sumber daya manusianya.
Bantuan juga diberikan untuk mendesain dan mengimplementasikan kebijakan makroekonomi serta perubahan struktural yang relatif.
Pada peranan IMF terhadap Indonesia dapat dilihat bahwa bantuan yang diberikan oleh IMF memberikan dampak positif dan negatif. Tetapi dalam hal ini, dampak negatif dirasakan lebih banyak. IMF semakin tidak disenangi karena keinginannya untuk ikut campur tidak hanya pada bidang ekonomi tetapi merambah sampai pada bidang politik. Bantuan yang diberikan juga tidak membuat Indonesia keluar dari krisis tapi hanya membuat Indonesia makin terpuruk dengan jumlah hutang yang besar.


Garis besar dampak negatifnya antara lain :
a. Membukakan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua sektor dan pengurangan subsidi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pangan dan perumahandan menghilangkan subsidi pada listrik, tarif telepon dan bahan bakar minyak sangat menyengsarakan rakyat. Karena membuat sepertiga dari seluruh rakyat Indonesia tidak mempunyai akses untuk memperoleh air bersih atau layanan kesehatan atau tidak menamatkan sekolah dasar.
b. Penerapan rezim kurs mengambang bebas menyulitkan para pembuat kebijakan dalam memprediksi dampak kebijakan-kebijakan fiskal dan moneternya terhadap kurs rupiah dan selanjutnya pada variabel-variabel ekonomi lainnya seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, ekspor-import dan lain-lain.
c. Penerapan kebijakan moneter ketat yang mematikan sektor riil karena sulitnya tersedia dana investasi dengan suku bunga rendah yang berdampak lanjut meningkatkan jumlah pengangguran.
d. Kebijakan penerapan fiskal ketat dan liberalisasi perdagangan dan sistem finansial yang termanifestasikan dalam kebijakan-kebijakan seperti pencabutan subsidi, penggenjotan pajak, privatisasi dan penjualan aset-aset perusahaan domestik secara murah membuat pihak asing semakin menentukan formulasi kebijaksanaan ekonomi dan sosial Indonesia dan penguasaan devisa pun akan berada di tangan mereka dengan intensitas yang lebih besar.

Dikutip dari: maximusblue.blogspot.com
Mengkritisi Lembaga-Lembaga Bretton Woods:
Menuju Globalisasi yang Manusiawi
Alvin Adisasmita
dan
Aulia Rachman Alfahmy
“Globalisasi tampaknya kian memerbesar tingkat kemiskinan dan ketimpangan… Biaya-biaya untuk penyesuaian demi keterbukaan yang lebih besar ditanggung sepenuhnya oleh kaum miskin, berapa pun lamanya waktu penyesuaian itu berlangsung.”
-World Bank, The simultaneous Evolution of Growth an Inequality, 1999
Latar Belakang
Globalisasi dalam beberapa tahun belakangan ini menjadi isu hangat untuk dibicarakan di berbagai kalangan. Bagaikan sebuah mantra, globalisasi dianggap sebagai jalan keluar instan yang dipercaya mampu meningkatkan kesejahteraan seluruh manusia. Globalisasi seakan sebuah aksioma di mana eksistensinya menjadi tidak perlu diperdebatkan lagi.
Lembaga-lembaga internasional berada di balik pergerakan global tersebut. Mereka sebagai penganut aliran neo-liberal, percaya bahwa adanya globalisasi akan secara masif mendorong pertumbuhan ekonomi di semua negara. Pada dasarnya, globalisasi memang suatu hal yang tidak dapat dihindari atau bahkan dihilangkan. Globalisasi dapat memberikan keleluasaan bagi arus barang dan jasa secara kompetitif. Hal ini tentunya akan membuahkan mekanisme ekonomi yang efisien. Semua ini berujung pada peningkatan kesejahteraan secara luas. Inilah esensi dari sebuah globalisasi, di mana dalam dataran idealita globalisasi justru hal yang baik dan dibutuhkan dalam evolusi peradaban manusia.
Oleh karena itu, para pemuka ekonomi dunia menggagas pembentukan beberapa organisasi internasional dalam rangka mengakomodasi jalannya globalisasi. IMF dan World Bank menjadi produk-produk pertama dalam misi ini. Disusul kemudian WTO yang merupakan bentukan dari GATT tahun 1995. Adanya Lembaga-lembaga tersebut dianggap menjadi sebuah jawaban yang tepat dalam rangka mensejahterakan kehidupan masyarakat dunia di tengah era globalisasi.
Namun, dalam tataran empiris tidaklah demikian adanya. Fakta menunjukan bahwa di tengah meningkatnya rata-rata pendapatan masyarakat dunia dari tahun 1990-2000 sebesar 2,5% justru terjadi penambahan orang miskin sebanyak 100 juta jiwa (Stiglitz, 2002:6). Hal lain perlu diperhatikan adalah pinjaman sebesar 1000 milyar dolar yang diberikan oleh IMF dan World Bank sejak tahun 1960-an telah terbukti gagal dalam mencapai tujuan awalnya. Belum lagi masalah kebijakan perdagangan dilakukan oleh Amerika secara kontroversial, di mana WTO yang notabene sebagai penjamin terciptanya perdagangan yang adil, tidak mampu berbuat apa-apa atas kehendak negara adikuasa tersebut. Hal ini sekali lagi membuktikan adanya kesalahan dalam pengelolaan globalisasi.
Nampaknya ada sebuah anomali dalam perjalanan globalisasi hingga saat ini. Globalisasi yang dikendarai oleh negara-negara maju melalui lembaga internasionalnya justru menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Terus meningkatnya ketimpangan merupakan bukti nyata gagalnya lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsinya sebagai sebuah lembaga publik internasional. Globalisasi yang diidamkan pun turut sirna seiring dengan kemiskinan yang merajalela.
Benarkah lembaga-lembaga tersebut dibutuhkan masyarakat dunia? Bagaimana cara agar globalisasi berjalan pada jalur yang tepat di bawah kendali lembaga-lembaga tersebut. Pada dasarnya, lembaga-lembaga inilah yang seharusnya menempati posisi kunci dalam kemajuan peradaban manusia di tengah era globalisasi. Namun sebagaimana yang telah diketahui melalui fakta-fakta di seluruh dunia, peran mereka masih menyimpan ribuan tanda tanya.
Bretton Wood: Tempat Lahirnya Lembaga-Lembaga Publik Internasional yang Gagal
Pada Tahun 1944 tepatnya tanggal 22 Juli diadakanlah pertemuan internasional membahas masalah ekonomi dunia pasca perang dunia ke-2. Pertemuan itu dikenal dengan The United Nations Monetary and Financial Conference, atau biasa dikenal dengan Bretton Woods conference yang dimana salah satu tamunya adalah John Maynard Keynes. Konferensi ini merupakan bagian dari upaya terorganisir untuk mendanai restrukturisasi Eropa pasca Perang Dunia II dan untuk menyelamatkan dunia dari depresi seperti The Great Depression pada 1930an. Dari konferensi ini menghasilkan tiga lembaga internasional, yaitu International Monetary Fund (IMF), International Bank for Reconstructions and Development (IBRD), dan International Trade Organization (ITO) yang akan dijadikan sebagai pilar-pilar ekonomi internasional. Tetapi ITO tidak berhasil dibentuk, karena Kongres Amerika Serikat tidak meratifikasi rancangannya karena dipandang dapat menggerogoti kedaulatan bangsa. Kemudian didirikan General Agreement on Tariff and Trade (GATT), sebuah format kerjasama yang lebih longgar pada tahun 1947. Baru berubah menjadi World Trade Organization (WTO) formalnya pada tanggal 1 Januari 1997 dan sudah dibahas sebelumnya pada Putaran Uruguay (1986 – 1994), dengan begitu menandai kelengkapan produk konferensi Bretton Woods selain IMF dan World Bank. Fungsi dari IMF dan World Bank sendiri adalah untuk menciptakan stabilisasi global dan mendanai pembangunan dunia. Sedangkan WTO sendiri merupakan lembaga internasional yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas perdagangan dan berfungsi sebagai wasit dalam perdagangan internasional.
Fatamorgana Pembangunan Ekonomi oleh Lembaga Bretton Wood.
East asian miracle, menjadi kata-kata magis bagi keberhasilan lembaga-lembaga internasional dalam menjalankan program bantuannya. Pertumbuhan hampir di seluruh Asia timur mencapai angka yang membanggakan pada tahun 1960-an sampai 1990-an. Tentu saja IMF dan World Bank dengan segera mengklaim peran mereka bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia tersebut. Proyek-proyek berskala besar yang ditalangi melalui bantuan lembaga-lembaga internasional, menjadikan negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga mampu menggenjot laju pertumbuhan ekonominya secara pesat.
Muncullah anggapan bahwa pertumbuhan akan menstimulus segala aspek ekonomi. Gagasan yang biasa dikenal dengan trickle down effect pada akhirnya menjadikan para penentu kebijakan di negara-negara berkembang berlomba-lomba untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang setinggi-tingginya. Semua itu dijalankan dengan dua prinsip pola pemikiran yang bagi lembaga internasional diyakini sebagai motor pertumbuhan ekonomi:
  1. Pertumbuhan dan peningkatan perdagangan dicapai melalui deregulasi dan privatisasi yang akan berujung pada peningkatan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
  2. Peningkatan investasi asing di negara-negara Dunia ketiga akan memerbesar kapasitas produksi dan pembangunan, yang serta merta meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin.
Yang menjadi pertanyaan besar adalah, apakah globalisasi dengan IMF, World Bank dan WTO benar-benar telah menurunkan tingkat kemiskinan? Benarkah rakyat di dunia menjadi sejahtera? Masihkah ada ketimpangan?
Jurus-jurus lembaga internasional tersebut terus-menerus dipertanyakan kesahihannnya. Sebut saja fakta yang menunjukan bahwa sejak tahun 1980 kemerosotan ekonomi terjadi hampir di 100 negara, di mana penyusutan pendapatan terjadi atas 1,6 milyar manusia. Fakta lainnya bahwa pendapatan rata-rata 70 dari 100 negara tersebut pada 1990-an lebih sedikit daripada tahun 1980. Bicara kemiskinan, fakta menunjukan bahwa penduduk termiskin yang jumlahnya sebesar seperlima penduduk dunia, telah merasakan kemerosotan pendapatan global sejak 30 tahun terakhir, dari 2,3 persen menjadi 1,4 persen (Bruce Rich, 1997).
World Bank sempat mengklaim bahwa pada tahu 1991 tingkat keberhasilan proyek yang dilakukan oleh mereka meningkat dari 64 persen ke 76 persen. Namun, demikian hasil yang lebih rill masih kurang bisa dirasakan oleh berbagai pihak berkepentingan. Bahkan Mohis Khan, salah satu staf IMF sempat menulis dalam paper-nya:
Although there have been a number of studies on the subject over the past decade, one cannot say with certainty whether programs have “work” or not… On the basis of existing studies, one certainty cannot say whether the adoption of program supported bay the Fund led to an improvement in inflations and growth performance. In fact it is often found that programs are associated with a rise of inflation and a fall in the growth rate.
Masih banyak fakta-fakta lain yang menunjukan adanya kegagalan lembaga-lembaga internasional dalam menjalankan visi dan misi mereka. Semua kegagalan tersebut semakin membuktikan adanya inkosistensi kinerja dari lembaga-lembaga tersebut.
Isu tingginya pertumbuhan ekonomi sebagai sumbangsih lembaga-lembaga internasional menjadi terbantahkan. Bahkan di antara negara yang di kenal sebagai “poster children” perdagangan bebas, yaitu para macan Asia (Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Malaysia), perbaikan yang terjadi sebenarnya bukan hasil kemauan mereka mengikuti dengan taat berbagai aturan rezim Bretton Wood, melainkan kemampuan mereka untuk melakukan kebalikan dari apa yang diinginkan lembaga-lembaga tersebut. Dengan fakta yang ada, semakin jelaslah pertumbuhan ekonomi yang terjadi sebagai hasil kinerja para lembaga Bretton Wood hanya sebuah fatamorgana.
Fakta-fakta Kegagalan dan Kesalahan Lembaga Internasional
Tentunya banyak sekali data yang mengindikasikan kegagalan lembaga-lembaga internasional dalam mewujudkan pembangunan masyarakat dunia seutuhnya. Namun, ada beberapa kegagalan dan kesalahan yang termasuk kategori terparah dalam perjalanan lembaga-lembaga tersebut. IMF, World Bank dan WTO memiliki “aib” mereka masing-masing.
Tentu saja dampak dari hal tersebut dirasakan oleh berbagai negara di penjuru dunia, tidak terkecuali Indonesia. Bahkan Indonesia kala itu disebut-sebut sebagai negara terparah akibat krisis Asia Timur tahun 1997. Merupakan suatu hal yang logis jika hal ini disebabkan intervensi dari lembaga-lembaga internasional tersebut.
  1. IMF
Tidak ada yang lebih mencengangkan bagi Indonesia selain krisis yang dimulai Oktober 1997. Bahkan Stiglitz berani mengatakan bahwa Indonesialah negara terparah akibat yang terkena dampak krisis moneter kala itu. Krisis itu dimulai dari nilai tukar rupiah yang terus merosot sebagai akibat capital outflow dan sentimen negatif yang berlebihan, hal ini tentu saja bakal menyeret kondisi perekonomian menuju krisis moneter. Pada akhirnya Indonesia yang sangat kekurangan dana devisa, meminta bantuan akan masalah ini kepada IMF. Tanpa malu-malu, IMF datang bagai pahlawan perekonomian di Asia Timur.
IMF memberikan solusi kepada negara-negara kliennya tertuang dalam sebuah SAP (Structural Adjustment Program) atau yang di Indonesia biasa di kenal dengan LoI, yang intinya mendorong secara penuh liberalisasi dan deregulasi dalam sektor keuangan dan badan usaha pemerintahan. Ketika terjadi krisis instruksi IMF yang paling kontroversial kepada Indonesia adalah dengan memerintahkan Indonesia melikuidasi 16 banknya. Dengan alasan pengetatan fiskal, IMF berani menjamin cara ini akan ampuh dalam menanggulangi krisis. Namun, hal yang diharapkan tersebut justru tidak terjadi. Selanjutnya malahan terjadi rush di mana-mana. Bank-bank lain pun kekurangan likiudasi dan juga terancam bangkrut. Kerusuhan di mana-mana, dan IMF tidak pernah sedikit pun memikirkan hal ini sebelumnya.
Berbeda dengan Indonesia, negara-negara lain seperti Malaysia, Cina dan Singapura yang tidak mau tunduk terhadap IMF dalam mengatasi krisis, justru dapat keluar lebih cepat dari krisis moneter itu. Apa yang sebenarnya ditawarkan IMF bukanlah obat yang mujarab bagi penyakit yang sedang menjangkiti Indonesia. IMF sering sekali menggunakan analogi satu obat untuk semua orang dan penyakit. Jadi, IMF merasa semua krisis ekonomi di dunia dapat diobati dengan kebijakan yang seragam. Padahal bagi seorang ekonom sudah seharusnya mengetahui konsep the post hoc fallacy di ekonomi pengantar, di mana seseorang tidak boleh menganggap satu kejadian pasti akibat dari satu kejadian lain.
IMF bukanlah dewa yang mampu menanggulangi krisis dengan cepat dan tepat. Bahkan Stiglitz mengungkapkan bahwa IMF tidaklah seprofesional yang masyarakat dunia ketahui. Para kritikus menuding bahwa IMF memakai pendekatan potong kompas (cookie-cutter approach) dalam bidang ekonomi. Maksudnya adalah, IMF lebih dahulu menyusun draft sebelum melakukan kunjungan ke negara yang bersangkutan. Lalu bagaimana mungkin solusi yang diberikan bisa tepat? Bahkan kualitas kerja mereka tidak lebih dari sebuah naskah, memainkan tombol komputer (copy and paste) ganti tanggal dan nama negara, lalu menyuruh negara bersangkutan melaksanakan SAP. Staff-staf IMF pun dikenal suka hidup bergelimangan harta dan suka tinggal di hotel-hotel mewah. Sebuah ironi memang, bagaimana sebuah lembaga yang seharusnya menjadi penopang di kala krisis ekonomi melanda negara lain, bertingkah laku layaknya organisasi kemarin sore.
  1. World Bank
Saudara kembar dari IMF pun tidak lepas dari berbagai kesalahan-kesalahan dalam melaksanakan kebijakan. Banyak sekali proyek mubazir yang dijalankan oleh World Bank. Salah satu lembaga independen, yaitu The World Commission on Dams (WCD) sempat mengingatkan World Bank untuk tidak terus-menerus membangun dam-dam besar yang mubazir itu. Karena melalui studi yang mereka lakukan selama ini, menyatakan bahwa dam-dam yang telah dibangun World Bank di berbagai penjuru dunia tidaklah efektif dan tepat sasaran. Alih-alih memberikan kontribusi positif melalui pengairan dan tenaga listrik, dam-dam tersebut malah menimbulkan eksternalitas negatif bagi lingkungan sekitar. Bahkan keteledoran World Bank juga pernah disuarakan dari badan-badan audit internal mereka sendiri. Mereka menganggap World Bank tidak becus dalam melakukan taksiran sebuah proyek.
Pada tahun 1996, Operations Evaluation Department (OED) menyingkap kegagalan World Bank dalam pelaksanaan kebijakan masalah penanggulangan kemiskinan atau yang biasa disebut dengan Poverty Assessments (PAs). Kebijakan ini berupa bantuan bagi negara-negara miskin di berbagai negara yang dikenal dengan Country Assistance Strategies (CAS) . Pada intinya, OED menyatakan kegagalan ini disebabkan kesalahan dalam prioritas dan rancangan proyek. PAs hanya berkutat kepada masalah-masalah besar seperti kondisi makro dan pembaruan struktural tanpa pernah menyinggung masalah-masalah yang lebih esensi seperti kemiskinan dan ketimpangan.
Bagaimana kasus di Indonesia? Juli 1997 profesor Jeffery Winters, mengungkapkan bahwa bobroknya manajemen World Bank mengakibatkan 30 persen bantuan dari mereka mudah untuk dikorupsi pejabat Indonesia selama 30 tahun. Jumlahnya pun sangat fantastis: 8 milyar dolar! Anehnya temuan tersebut tidak pernah ditanggapi serius oleh World Bank. Malahan World Bank pada kelanjutannya menjanjikan pinjaman lebih dari 1,3 milyar kepada Indonesia tanpa pernah serius menggarap masalah kebocoran ini.
Menjadi pertanyaan besar memang eksistensi World Bank sebagai pendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dunia. Alih-alih memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat dunia, yang terjadi justru kesalahan-kesalahan yang terus meningkatkan kemiskinan dan ketidakadilan.
  1. WTO
WTO sendiri pun tidak lepas dari kegagalan-kegagalan yang seharusnya dihindari oleh WTO. Malah bisa dibilang WTO bukan hanya gagal, tapi menunjukan adanya kepentingan negara-negara industri dalam keberadaannya hingga saat ini, terutama Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Dari awal pun posisi tawar menawar antara negara maju dan negara berkembang pun tidak seimbang. Juga rapat-rapat WTO hanya diikuti oleh 30an negara, yang berarti ada 100an negara yang tidak ikut dalam mengambil keputusan rapat. Hal itu menunjukan bahwa negara-negara selain negara maju tidak mendapat peran yang lebih dalam mengambil kebijakan-kebijakan WTO.
Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh WTO sendiri banyak menuai kontroversi bagi negara-negara berkembang. Kebijakan-kebijakan tersebut utamanya antara lain: TRIPs, Sanitation and Phytosanitation Standards (SAPS), Agreement on Agriculture (AoA), General Agreement on Trade Services (GATS).
TRIPs adalah kebijakan dari WTO yang mengatur akan pematenan hak kekayaan intelektual. Hal yang mendasari ini adalah dorongan keuntungan ekonomi dan penguasaan pasar oleh negara-negara industri maju. Melalui TRIPs, negara-negara maju berupaya untuk mengendalikan penguasaan perdagangan internasional melalui pematenan produk-produk mereka. Hal ini ternyata dapat berdampak buruk bagi negara-negara berkembang karena dengan kebijakan-kebijakan seperti ini akan mengakibatkan tidak adanya transfer teknologi karena apa yang mau ditransfer tersebut sudah menjadi hak dari negara maju yang mematenkan. Juga sekali lagi dapat menjadi bumerang bagi negara berkembang karena pematenan hanya pada skala industri, tidak pada skala pertanian juga. Artinya proses-proses bioteknologi yang sekarang berhasil menghasilkan bibit-bibit unggul itu tidak dapat dipatenkan juga. Hal ini dimanfaatkan oleh negara-negara industri maju untuk melakukan transfer teknologi dan pengetahuan untuk pertaniannya, yang dimana pada sebaliknya negara-negara berkembang susah untuk mengakses transfer teknologi pada skala industri.
SAPS, adalah perjanjian yang membatasi kebijakan pemerintah dalam hal keamanan makanan (kontaminasi bakteri, pestisida, pemeriksaan dan pelabelan) dan kesehatan binatang dan tanaman (impor wabah dan penyakit). Perjanjian ini merugikan karena dapat melemahkan Precautionary Principle (Prinsip Pencegahan) pada negara-negara yang belum melakukan penelitian ilmiah untuk menunjukkan bukti tuduhan. Kebijakan ini sebenarnya baik maksudnya, tapi dapat menimbulkan terlambatnya negara yang diimpor untuk mencegah wabah atau penyakit dari binatang ataupun tanaman yang masuk ke negara mereka.
Agreement on Agriculture (AoA), perjanjian yang dihasilkan dari putaran Uruguay ini, mengatur perdagangan pangan secara internasional dan dalam negeri. Aturan-aturan ini memacu laju konsentrasi pertanian ke agribisnis dan dapat melemahkan kemampuan negara-negara miskin untuk mencukupi kebutuhan swadaya pangan dengan cara bertani subsistens (bahan pokok penyambung hidup). Hal ini menyebabkan rendahnya harga komoditas mereka atas jumlah ekspor mereka yang juga terbatas.
GATS adalah perjanjian yang dimaksudkan untuk menjadi tata perdagangan bebas dalam bidang jasa. Perjanjian ini bertujuan untuk meliberalisasi perdagangan jasa dengan menghilangkan hambatan, kontrol dan regulasi atas penyediaan jasa. Hal yang menakutkan adalah GATS didasarkan pada prinsip yang memrioraritaskan nilai ekonomis dibandingkan nilai sosial dari penyediaan jasa. Situasi ini mengarah pada komersialisasi jasa yang berjalan bersamaan dengan liberalisasi ekonomi yang membatasi peran negara atau badan publik. Hal ini berimplikasi pada privatisasi pada sektor-sektor penting seperti air, komunikasi, kesehatan, dan pendidikan. Pengalihan kewenangan pada swasta juga akan kemudian menimbulkan kesenjangan kekuasaan antara korporasi dan konsumen/publik. Pengelolaan secara arbitreri oleh swasta juga akan menimbulkan naiknya tarif layanannya.
Pada WTO sendiri terdapat juga standar ganda dalam perdagangan internasional, dimana negara-negara industri maju melibatkan kepentingan mereka dalam WTO Standar ganda yang dimaksud adalah saat negara-negara maju menggunakan posisi tawar mereka termasuk di arena WTO dan memaksakannya pada negara-negara lainnya. Contoh yang kentara dari standar ganda perdagangan internasional ini adalah kasus Common Agricultural Policy yang diberlakukan ole Uni Eropa.
Common Agricultural Policy (CAP) adalah kebijakan pertanian yang dirancang oleh Eropa pada tahun 1950-an. Kondisi Eropa pada tahun tersebut berbeda sekali dengan kondisi sekarang. CAP muncul dari trauma dan kelaparan akibat perang, sehingga tidak mengherankan jika CAP mempunyai tujuan menjadikan Eropa dapat mencukupi kebutuhan pangannya sendiri, menjamin kelayakan hidup petani dan menentukan harga yang layak bagi konsumen. Akan tetapi lama-lama peningkatan maupun penurunan pertanian bukanlah masalah bagi orang Eropa karena mereka sudah mempunyai industri yang maju dan segala bentuk proteksi sosial. Padahal pertanian hanya sebesar 4% di Uni Eropa dan sebesar 1% di Inggris. Berbeda dengan negara-negara berkembang seperti Indonesia yang 60% merupakan pertanian, yang menjadikan eratnya pertumbuhan pertanian dengan pengurangan kemiskinan pada negara-negara tersebut. Negara-negara berkembang dirugikan dengan murahnya produk-produk pertanian dari Uni Eropa. CAP telah melukai para petani di negara-negara berkembang dengan dua cara, yaitu menghancurkan produsen-produsen di negara berkembang dengan dumping dengan menyubsidi barang-barang di pasar lokal mereka dan mengurangi potensi ekspor pertanian ke negara-negara berkembang baik ke negara-negara Eropa maupun pasar-pasar pada negara ketiga. Dampak dari subsidi tersebut menjadikan 75% keuntungan produsen ekspor di UE berasal dari CAP, bukan dari pasar.
Saran-saran dan Kesimpulan
Dari pemaparan fakta-fakta yang telah ada, terlihat jelas bahwa ada kegagalan lembaga-lembaga internasional dalam menjalankan roda globalisasi. Kritikan akan lembaga-lembaga tersebut muncul dari berbagai pihak. Ada beberapa masalah yang sangat fundamental untuk dibahas dalam rangka menuju globalisasi yang lebih baik. Tentunya ini melibatkan lembaga-lembaga internasional tersebut untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Isu-isu masalah transparansi dari lembaga-lembaga tersebut menjadi hak dunia untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut dapat berjalan dengan sesuai. Selama ini transparansi di lembaga-lembaga tersebut kurang berjalan dengan baik. Lembaga-lembaga tersebut sebagai lembaga publik internasional seharusnya dapat mempertanggungjawabkan apa yang telah dilaksanakan kepada publik. Pada kenyataannya walaupun mereka adalah lembaga publik, tapi tidak pernah ada tanggungjawab kepada publik.
Di WTO seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya sering melakukan negosiasi-negosiasi penting akan tetapi kesepakatannya sering dilakukan dibalik pintu tertutup. Banyak negara-negara berkembang lainnya tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan krusial dalam negosiasi. Sehingga apa yang menjadi keputusan dari WTO kadang susah diterima negara-negara berkembang dan sudah terlambat saat ingin melihat ada tidaknya kepentingan negara-negara tertentu atau perusahaan-perusahaan tertentu.
Sedang tertutupnya IMF dan World Bank adalah alamiah, karena dalam komunitas keuangan rahasia sudah dianggap sebagai suatu yang wajar, akan tetapi IMF bukanlah bank swasta, IMF adalah lembaga publik yang dimana mau tidak mau harus menunjukan transparansinya sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Kerahasiaan yang ditunjukan oleh lembaga-lembaga tersebut bisa karena mereka ingin menutupi borok-borok mereka baik yang timbul karena kesalahan murni maupun disengaja. Selain itu juga disinyalir ada kecenderungan untuk menutup-nutupi kepentingan-kepentingan negara-negara maju seperti yang terjadi pada WTO. Kesalahan mereka jika terbuka akan menimbulkan turunnya pandangan masyarakat dunia akan keberadaan mereka dan kredibilitas mereka sebagai pilar-pilar lembaga-lembaga ekonomi internasional.
Isu yang penting lainnya dalam menciptakan globalisasi yang lebih baik adalah adanya good governance dari ketiga lembaga tersebut. Sebelumnya kita telah melihat sebagaimana jauh kegagalan lembaga-lembaga tersebut hingga fakta bahwa dalam menetapkan aturan main, kepentingan komersial dan keuangan serta berbagai pola pikir tampaknya mendominasi lembaga-lembaga ekonomi global tersebut.
Governance di IMF tampak buruk jika kita amati. Tampak tidak seimbangnya komposisi keberadaan wakil antara “kreditur” dan “peminjam”. Para pengangguran karena kebijakan-kebijakan IMF tidak mendapat wakil didalamnya, sedangkan bankir dan kreditur diwakilkan dengan baik oleh para menteri keuangan dan gubernur bank sentral. Dari situ maka kebijakan-kebijakan IMF akan menjadi mudah untuk diprediksi, yaitu paket-paket talangan yang dikeluarkan oleh IMF akan menjadi lebih mengarah pada pengurusan pelunasan hutang daripada mengurus dan mencoba menciptakan perekonomian yang memberikan kesempatan kerja penuh. Konsekuensi dari pilihan manajemen lembaga tersebut juga mudah untuk diprediksi, yaitu cenderung mencari pemimpin lembaga yang sejalan dengan pemikiran “pemegang saham” daripada mencari pemimpin yang ahli dalam urusan akan negara-negara berkembang yang menjadi pokok kegiatan IMF akhir-akhir ini.
Governance di WTO tampaknya lebih muram dan rumit lagi. Komposisi tawar menawar antar negara dalam lembaga yang tidak seimbang menunjukan ketidakberesan governance dalam lembaga tersebut. Negara-negara dengan posisi bargaining yang lebih kuat terlihat mendominasi WTO walaupun semua negara seharusnya memiliki hak suara yang sama. Tapi sejak Putaran Doha, negara-negara berkembang tampaknya mulai memiliki posisi bargaining yang kurang lebih seimbang. Apalagi ditambah masuknya Cina dalam WTO yang cenderung menunjukan keberpihakan pada negara-negara berkembang walaupun tidak selalu sama dalam kepentingan-kepentingannya dengan negara berkembang.
Melihat perihal diatas, maka perlu ada perubahan governance lembaga-lembaga tersebut seperti hak voting dan memastikan tidak hanya suara para menteri perdagangan dan menteri keuangan yang didengarkan pada WTO, IMF, dan World Bank.
Tak mudah memang merubah itu semua, tapi juga tidak perlu keajaiban untuk mewujudkannya. Dalam jangka pendek ada sejumlah perubahan dalam praktek dan prosedur yang bisa memberikan dampak yang signifikan. Oleh karena diperlukan kesadaran dari lembaga-lembaga tersebut untuk membuat sebuah lembaga terpisah yang menangani akan perbaikan governance ini seperti yang diusulkan oleh Stiglitz:
Jika negara-negara maju serius memperhatikan suara-suara dari negara-negara berkembang, mereka seharusnya bisa membiayai sebuah ‘think thank’ – yang independen dari organisasi-organisasi ekonomi internasional – yang bisa membantu mereka merumuskan strategi-strategi dan posisi-posisi.(Stiglitz, 2002:316)
Kemudian hal terakhir yang penting untuk diperhatikan dalam menuju globalisasi yang lebih baik adalah reformasi lembaga-lembaga tersebut. Salah satunya yang perlu direformasi adalah perlunya pembedaan antara ideologi dan ilmu pengetahuan pada lembaga tersebut. Ilmu pengetahuan masih mengakui keterbatasan pengetahuan seseorang. Sebaliknya, IMF tidak suka akan ketidakpastian yang ada yang terkait dengan kebijakan-kebijakannya, dan lebih suka untuk memproyeksikan gambaran yang sempurna. Pola pikir inilah yang membuat IMF kurang bisa belajar baik dari masa lalu dan jika kebijakannya gagal cenderung menyalahkan pemerintah.
Selain itu, reformasi akan conditionality juga penting untuk diperhatikan. Penerapan persyaratan-persyaratan yang kadang bersifat politis dan sering tidak mengarah ke kebijakan yang lebih baik perlu untuk ditinjau ulang.
Juga perlu digiatkan lagi adanya pembebasan hutang. Perlu disadari bahwa perlunya adanya tanggungjawab pada diri kreditor, sehingga negara seperti Indonesia yang hancur karena krisis Asia Timur dan kegagalan-kegagalan kebijakan-kebijakan IMF di sana dapat dipertimbangkan untuk pembebasan hutang.
Dari penjabaran-penjabaran diatas pasti saat ini globalisasi sedang dipertanyakan dimana-mana di dunia. Muncul ketidakpuasan dan rasa jengah akan globalisasi. Padahal globalisasi memberi banyak manfaat bagi kita, akan tetapi yang salah dari globalisasi ini adalah lembaga-lembaga Bretton Woods yang gagal menjalankan fungsinya dengan seksama. Juga kesalahan datang dari negara-negara berkembang yang terlalu tergantung pada hutang luar negeri dan juga sistem pemerintahan mereka yang kacau juga ditambah oleh merebaknya korupsi.
Sedang negara-negara maju perlu melakukan peran pentingnya untuk mereformasi lembaga-lembaga internasional yang mengatur globalisasi. Mereka yang mendirikan lembaga-lembaga tersebut dan mereka pula yang perlu bekerja untuk memperbaikinya. Untuk membuat globalisasi diterima, untuk meluruskan masalah ketidakpuasan akan globalisasi, dan jika mewujudkan globalisasi yang lebih manusiawi.


Daftar Pustaka
Baswir, Revrisond. 2006. Mafia Berkeley. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Chossudovsky, Michel. 1998. The Globalisation of Poverty: Impact of IMF and World Bank Reform. Sidney: Pluto Press.
Gie, Kwik Kian. 2006. Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar. Jakarta: Kompas.
Hancock. Graham. 2005. Dewa-Dewa Pencipta Kemiskinan. Yogyakarta: Cindelaras
International Forum of Globalization. 2003. Globalisasi kemiskinan dan ketimpangan. Yogyakarta: Cindelaras.
Justice and Piece Institute. 2003. Fair Trade: Sebuah Alternatif Positif. Surakarta: Yayasan Samadi.
Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap Kejahatan Industri Pangan. Yogyakarta: Resist Book.
Mubyarto. 2000. Membangun Sistem Ekonomi. Yogyakarta: BPFE.
Stiglitz, Joseph. 2003. Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional. Jakarta: Ina Publikatama.
____________. 2006. Dekade Keserakahan: Era ’90-an san Awal Mula Petaka Ekonomi dunia. Tangerang: Marjin Kiri.

Sumber: http://jendralaulia.multiply.com/journal/item/9

IMF dan World Bank, Hero or Zero?


Sumber: http://alfianheri.blogspot.com/2010/03/imf-dan-world-bank.html
Pemikiran lain dari World Bank dan IMF

Sejak International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) didirikan oleh Amerika Serikat dan Inggris pada tahun 1944 di Bretton Woods, kedua organisasi finansial tersebut telah banyak memberikan bantuan keuangan bagi negara-negara berkembang. Sejak berakhirnya PD II IMF dan WB telah menyelamatkan perekonomian negara-negara Eropa yang hancur oleh PD II tersebut. Saat ini hampir semua negara di dunia mendanai sebagian besar pembangunannya dengan dana yang dipinjamkan oleh IMF dan WB. Dapat dikatakan bahwa bantuan keuangan IMF dan WB menjadi bagian yang sulit terpisahkan dari proses pembangunan negara-negara berkembang. Namun peran penting yang dapat dilihat sebagai dampak positif, bantuan IMF dan WB juga menyebabkan dampak negatif yang sangat merugikan negara-negara berkembang. Data statistik WB menunjukkan bahwa 23 negara mengalami pertumbuhan GNP per kapita negatif antara tahun 1965-1980. Jumlah tersebut meningkat antara tahun 1980-1991 menjadi 43 negara. Jika dilihat lebih jauh pada tahun 1995 data United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR) menunjukkan bahwa terdapat 27,4 juta pengungsi yang disebabkan oleh konflik di negara-negara dunia ketiga. Akar dari konflik tersebut adalah kemiskinan dan keterbelakangan “underdevelopment”.
Dalam hal memberikan bantuan keuangan terdapat perbedaan antara IMF dan WB. Sejak didirikan pada tahun 1944 IMF ditujukan untuk menjaga standard fixed exchange rates yang berlaku sejak berakhirnya perang dunia kedua. Tahun 1971 fungsi tersebut berubah sejalannya dihapuskannya standar emas, IMF memiliki misi baru yaitu menyediakan pinjaman bagi negara-negara yang mengalami permasalahan ekonomi (economically troubled countries). Lebih spesifik IMF berfungsi membantu negara-negara yang mengalami kesulitan balance of payment, yaitu penerimaan negara tersebut dari import dan sumber lainnya tidak cukup untuk membayar hutang luar negerinya. Fungsi IMF dalam hal ini adalah: pertama menyediakan pinjaman untuk menutupi hutang yang harus segera dibayar (immediate obligations) kepada kreditor luar negeri. Kedua IMF berfungsi sebagai “gatekeeper” yaitu IMF menjadi jaminan bagi suatu negara untuk mendapatkan bantuan dari institusi keuangan lainnya seperti World Bank. Artinya private lenders dan public lenders seperti WB tidak akan memebrikan pinjaman kepada negara-negara yang memiliki permasalahan ekonomi kecuali mereka memiliki perjanjian dalam hal peminjaman dari IMF.
Sedangkan World Bank berfungsi untuk memberikan bantuan bagi negara-negara dunia ketiga untuk membantu usaha-usaha pembangunannya. Bentuk-bentuk bantuan tersebut adalah proyek-proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan raya, hydroelectric dams, sekolah, instalasi air minum, listrik, dan lain sebagainya.
Pemberian bantuan IMF dan WB didasarkan atas instrumen structural adjusment loans dan sectoral adjusment loans. Kedua instrumen tersebut pada dasarnya sama yang membedakannya hanya cakupan luasnya kebijakan dan perubahan institusional yang diinginkan. Secara garis besar program adjusment mencakup 4 hal yaitu:
1. External trade- ukuran-ukuran yang mencakup devaluasi, penghapusan atas pembatasan-pembatasan quota, pemotongan tarif dan meningkatkan incentif eksport.
2. Resource mobilisation-mencakup penyesuaian suku bunga (interest rate adjusments), reformasi perpajakan, anggaran, cost recovery sytems terhadap perusahaan-perusahan publik dan memberlakukan kontrol yang lebih ketat terhadap level dan administrasi yang berkaitan dengan pinjaman luar negeri.
3. Efficient use of resources-mencakup pengurangan atau penghapusan subsidi makanan atau kebutuhan pokok, restrukturisasi dan rasionalisasi state marketing boards, melakukan perubahan dalam public expenditure seperti perubahan orientasi dari transportasi dan bangunan pemerintah ke sektor pertaian, kesehatan, dan pendidikan, dan melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan efisiensi energi.
4. Institutional reforms, mencakup privatisasi perusahaan-perusahaan negara, meningkatkan efisiensi terhadap perusahaan-perusahaan publik dan menetapkan target yang lebih baik terhadap pertanian dan program-program industri untuk meningkatkan evaluasi proyek dan manajemen atas perusahaan –perusahaan publik.

Adjusment programs tersebut merupakan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu negara sebelum mendapatkan bantuan dari IMF dan WB. Permasalahan yang dialami oleh negara-negara berkembangan yang menerima pinjaman dari kedua institusi tersebut berwal dari adjusment programs itu. Reasoningnya adalah ketentuan-ketentuan dalam adjusment programs yang disyaratkan oleh IMF seringkali tidak sesuai dengan sistem ekonomi dan politik negara penerima pinjaman tersebut. Sebagai contoh adalah negara Argentina. Kekacauan ekonomi Argentina sejak tahun 2002 adalah antiklimaks dari pertumbuhan semu yang di-back up oleh IMF dan WB.
Sejak 1980-an Argentina menerima banyak bantuan keuangan dari IMF. Hal itu memberikan “legitimasi” bagi IMF untuk mengontrol para policymaker Argentina untuk melakukan privatisasi perusahaan-perusahaan negara, liberalisasi investasi dan perdagangan luar negeri, dan memperketat kebijakan fiskal dan moneter. Ketentuan-ketentuan yang diresepkan IMF tersebut pada kenyataannya telah mendorong pertumbuhan ekonomi Argentina yang sejak 1990-an mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5% pertahunnya.
Namun sebenarnya pertumbuhan tersebut dibangun di atas fondasi yang lemah, dimana petumbuhan dihasilakan dari akumulasi pinjaman luar negeri yang terus meningkat (hutang kepada bank swasta, hutang kepada IMF, hutang kepada negara lain), perluasan pasar luar negeri terhadap ekspor barang-barang argentina yang sifatnya kebetulan saja “fortuitous”, injeksi-injeksi jangka pendek “short-termd injections” terhadap pendapatan negara yang diperoleh dari penjualan perusahaan negara. Akibat lemahnya fondasi tersebut sejak 1998 ekonomi argentina mengalami resesi yang dahsyat. Hutang luar negeri mencapai 155 milyar dollar yang merupakan hutang terbesar sepanjang sejarah, pemerintah membatasi atau melarang masyarakat untuk menarik uang mereka dari bank, jalan-jalan dipenuhi oleh massa yang melakukan demonstrase, lebih parah lagi adalah terjadinya kerusuhan akibat penjarahan.
Resesi ekonomi yang dialami oleh Argentina dapat ditelusuri sejak tahun1990 dimana atas dasar saran IMF melalui structural adjusment program-nya memerintahkan aregntina untuk melakukan kebijakan yang disebut “currency board”. Hal itu dilakukan untuk menekan inflasi yang semakin tinggi. Currency board adalh kebijakan yang mengatur mata uang negara yaitu agar satu peso Argentina bernilai satu dollar AS. Untuk menjaga atau menjamin fixede exchange rate itu, dewan (board) tetap mensuplai dollar ke reserve (cadangan), dan tidak bisa memperluas suplai peso tanpa peningkatan yang setara terhadap dolar. Currency board system (CBS) kelihatan menarik karena inflasi yang bisa dikatakan absurd dimana harga-harga melambung tinggi sampai 200% perbulan. Dengan membatasi pertumbuhan suplai uang, currency board system telah mengurangi inflasi secara sangat signifikan.
Namun sistem tersebut membawa dampak buruk bagi perekonomian Argentina, karena walaupun CBS berhasil mengurangi tingkat inflasi pada pertengahan tahun 1990-an, CBS juga menghilangkan fleksibilitas dalam kebijakan moneter. Ketika resesi mulai memburuk pada pertengahan 1990-an, pemerintah tidak bisa menstimulasi aktivitas ekonomi melalui perluasan suplai uang “money supply”. Lebih parah lagi ketika ekonomi terus memburuk, pemasukan atas dolar menurun, hal itu menyebabkan currency board membatasi suplai uang lebih banyak lagi. Dampak buruk lainnya adalah pada pertengahan 1990-an dollar AS terapresiasi terhadap mata uang lainnya, artinya (karena aturan one-to-one) maka nilai tukar peso juga terapresiasi. Hal itu menyebabkan harga barang-barang ekspor Aggentina menjadi naik, dan berdampak pada menurunnya permintaan terhadap barang-barang Argentina.
Dampak structural adjusment IMF berlanjut pada tahun 1998 dimana Argentina memasuki babak perekonomian yang semakin buruk, namun IMF tetap memberikan bantuan finansial. IMF memberikan pijaman “kecil” sebesar 3 milyar dollar AS pada awal 1998. ketika krisi semakin buruk IMF meningkatkan dukungan finansialnya dengan memberikan tambahan pinjaman sebesar $13,7 milyar dan menyediakan $26 milyar lebih dari dari sumber lain di akhir tahun 2000. Ketika keadaan semakin memburuk pada tahun 2001, IMF menjanjikan $8 milyar dollar.
IMF menyertakan pinjamannya dengan syarat bahwa Argentina harus menjamin atau menjaga kebijakan moneternya dan tetap meneruskan kebijakan pengetatan kebijakan fiskalnya dengan cara menghapuskan defisit anggarannya. Karena menurut IMF pengurangan deficsit adalah kunci utama untuk menciptakan kestabilan makroekonomi dan pertumbuhan ekonomi. Argentina melaksanakan pengurangan defisit dengan sungguh-sungguh dalam arti melakukan pengurangan secara drastis. Dalam keadaan ekonomi yang kacau dan pendapatan dari pajak yang sangat rendah, satu-satunya jalan untuk menyeimbangkan anggaran adalah memeotong secara drastis pembelanjaan pemerintah. Awal tahun 2001, sesaat sebelum pemerintah mengeluarkan surat-surat obligasi dalam jumlah besar, pejabat Argentina mengumumkan kebijakan pemotongan anggaran sebesar $1,6 milyar (sekitar 3% dari jumlah anggaran federal). Kebijakan tersebut diharapkan dapat menciptakan kembali kepercayaan investor asing terhadap Argentina dan menurunkan suku bunga.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya, investor melihat kebijakan pemotongan anggaran tersebut sebagai tanda lain dari semakin memburuknya krisis, dan surat-surat obligasi hanya dapat dijual pada tingkat suku bunga yang tinggi (yaitu 14%, karena sebelumnya surat obligasi serupa dijual pada tingkat bunga 9% hanya beberapa minggu sebelum keluarnya kebijakan pemotongan tersebut). Pada bulan desember kebijakan pemotongan anggaran kembali dilakukan bahkan dalam jumlah yang lebih besar yaitu sebesar $9,2 milyar pada sektor pembelanjaan atau sekitar 18% dari seluruh anggarannya.
Pemotongan tersebut berimplikasi pada pemotongan anggaran untuk program-program sosial dan mengurangi seluruh permintaan. Pada pertengahan desember, pemerintah mengumumkan bahwa kebijakan tersebut akan menyebabkan terjadinya pemotongan gaji pegawai pemerintah sebesar 20% dan mengurangi pembayaran uang pensiun. Pada saat yang sama dimana krisis semakin memburuk memunculkan kekhawatiran bahwa pemerintah Argentian akan melepaskan CBS dan mendevaluasi peso, pemerintah mengambil kebijakan yaitu mencegah rakyatnya untuk melakukan penukaran peso mereka dengan dollar dengan cara pembatasan penarikan uang dari bank.
 

Sample text

Sample Text

Media Berbagi Informasi