Mengkritisi Lembaga-Lembaga Bretton Woods:
Menuju Globalisasi yang Manusiawi
Alvin Adisasmita
dan
Aulia Rachman Alfahmy
“Globalisasi tampaknya kian memerbesar
tingkat kemiskinan dan ketimpangan… Biaya-biaya untuk penyesuaian demi
keterbukaan yang lebih besar ditanggung sepenuhnya oleh kaum miskin, berapa pun
lamanya waktu penyesuaian itu berlangsung.”
-World Bank, The simultaneous Evolution of Growth an
Inequality, 1999
Latar Belakang
Globalisasi
dalam beberapa tahun belakangan ini menjadi isu hangat untuk dibicarakan di
berbagai kalangan. Bagaikan sebuah mantra, globalisasi dianggap sebagai jalan
keluar instan yang dipercaya mampu meningkatkan kesejahteraan seluruh manusia. Globalisasi
seakan sebuah aksioma di mana eksistensinya menjadi tidak perlu diperdebatkan
lagi.
Lembaga-lembaga
internasional berada di balik pergerakan global tersebut. Mereka sebagai
penganut aliran neo-liberal, percaya bahwa adanya globalisasi akan secara masif
mendorong pertumbuhan ekonomi di semua negara. Pada dasarnya, globalisasi
memang suatu hal yang tidak dapat dihindari atau bahkan dihilangkan.
Globalisasi dapat memberikan keleluasaan bagi arus barang dan jasa secara
kompetitif. Hal ini tentunya akan membuahkan mekanisme ekonomi yang efisien.
Semua ini berujung pada peningkatan kesejahteraan secara luas. Inilah esensi
dari sebuah globalisasi, di mana dalam dataran idealita globalisasi justru hal
yang baik dan dibutuhkan dalam evolusi peradaban manusia.
Oleh karena itu, para pemuka ekonomi dunia
menggagas pembentukan beberapa organisasi internasional dalam rangka mengakomodasi
jalannya globalisasi. IMF dan World Bank menjadi produk-produk pertama dalam
misi ini. Disusul kemudian WTO yang merupakan bentukan dari GATT tahun 1995.
Adanya Lembaga-lembaga tersebut dianggap menjadi sebuah jawaban yang tepat
dalam rangka mensejahterakan kehidupan masyarakat dunia di tengah era
globalisasi.
Namun, dalam tataran empiris tidaklah demikian
adanya. Fakta menunjukan bahwa di tengah meningkatnya rata-rata pendapatan
masyarakat dunia dari tahun 1990-2000 sebesar 2,5% justru terjadi penambahan
orang miskin sebanyak 100 juta jiwa (Stiglitz, 2002:6). Hal lain perlu
diperhatikan adalah pinjaman sebesar 1000 milyar dolar yang diberikan oleh IMF
dan World Bank sejak tahun 1960-an telah terbukti gagal dalam mencapai tujuan
awalnya. Belum lagi masalah kebijakan perdagangan dilakukan oleh Amerika secara
kontroversial, di mana WTO yang notabene sebagai penjamin terciptanya
perdagangan yang adil, tidak mampu berbuat apa-apa atas kehendak negara
adikuasa tersebut. Hal ini sekali lagi membuktikan adanya kesalahan dalam
pengelolaan globalisasi.
Nampaknya
ada sebuah anomali dalam perjalanan globalisasi hingga saat ini. Globalisasi
yang dikendarai oleh negara-negara maju melalui lembaga internasionalnya justru
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Terus meningkatnya ketimpangan
merupakan bukti nyata gagalnya lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsinya
sebagai sebuah lembaga publik internasional. Globalisasi yang diidamkan pun
turut sirna seiring dengan kemiskinan yang merajalela.
Benarkah lembaga-lembaga
tersebut dibutuhkan masyarakat dunia? Bagaimana cara agar globalisasi berjalan
pada jalur yang tepat di bawah kendali lembaga-lembaga tersebut. Pada dasarnya,
lembaga-lembaga inilah yang seharusnya menempati posisi kunci dalam kemajuan
peradaban manusia di tengah era globalisasi. Namun sebagaimana yang telah
diketahui melalui fakta-fakta di seluruh dunia, peran mereka masih menyimpan
ribuan tanda tanya.
Bretton Wood: Tempat
Lahirnya Lembaga-Lembaga Publik Internasional yang Gagal
Pada Tahun 1944 tepatnya tanggal 22 Juli
diadakanlah pertemuan internasional membahas masalah ekonomi dunia pasca perang
dunia ke-2. Pertemuan itu dikenal dengan The
United Nations Monetary and Financial Conference, atau biasa dikenal dengan
Bretton Woods conference yang dimana
salah satu tamunya adalah John Maynard Keynes. Konferensi ini merupakan bagian dari upaya terorganisir untuk
mendanai restrukturisasi Eropa pasca Perang Dunia II dan untuk menyelamatkan
dunia dari depresi seperti The Great
Depression pada 1930an. Dari konferensi ini menghasilkan tiga lembaga
internasional, yaitu International Monetary Fund (IMF), International Bank for
Reconstructions and Development (IBRD), dan International Trade Organization
(ITO) yang akan dijadikan sebagai pilar-pilar ekonomi internasional. Tetapi ITO
tidak berhasil dibentuk, karena Kongres Amerika Serikat tidak meratifikasi
rancangannya karena dipandang dapat menggerogoti kedaulatan bangsa. Kemudian
didirikan General Agreement on Tariff and Trade (GATT),
sebuah format kerjasama yang lebih longgar pada tahun 1947. Baru berubah
menjadi World Trade Organization (WTO) formalnya pada tanggal 1 Januari 1997
dan sudah dibahas sebelumnya pada Putaran Uruguay (1986 – 1994), dengan begitu
menandai kelengkapan produk konferensi Bretton Woods selain IMF dan World Bank.
Fungsi dari IMF dan World Bank sendiri adalah untuk menciptakan stabilisasi global
dan mendanai pembangunan dunia. Sedangkan WTO sendiri merupakan lembaga
internasional yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas perdagangan dan
berfungsi sebagai wasit dalam
perdagangan internasional.
Fatamorgana Pembangunan Ekonomi oleh Lembaga Bretton
Wood.
East asian miracle,
menjadi kata-kata magis bagi keberhasilan lembaga-lembaga internasional dalam
menjalankan program bantuannya. Pertumbuhan hampir di seluruh Asia timur
mencapai angka yang membanggakan pada tahun 1960-an sampai 1990-an. Tentu saja IMF
dan World Bank dengan segera mengklaim peran mereka bagi terciptanya
pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia
tersebut. Proyek-proyek berskala besar yang ditalangi melalui bantuan
lembaga-lembaga internasional, menjadikan negara-negara berkembang atau Dunia
Ketiga mampu menggenjot laju pertumbuhan ekonominya secara pesat.
Muncullah anggapan bahwa pertumbuhan akan menstimulus segala aspek
ekonomi. Gagasan yang biasa dikenal dengan trickle down effect pada
akhirnya menjadikan para penentu kebijakan di negara-negara berkembang
berlomba-lomba untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang setinggi-tingginya.
Semua itu dijalankan dengan dua prinsip pola pemikiran yang bagi lembaga
internasional diyakini sebagai motor pertumbuhan ekonomi:
- Pertumbuhan dan peningkatan perdagangan dicapai melalui deregulasi dan privatisasi yang akan berujung pada peningkatan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
- Peningkatan investasi asing di negara-negara Dunia ketiga akan memerbesar kapasitas produksi dan pembangunan, yang serta merta meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin.
Yang menjadi
pertanyaan besar adalah, apakah globalisasi dengan IMF, World Bank dan WTO benar-benar
telah menurunkan tingkat kemiskinan? Benarkah rakyat di dunia menjadi
sejahtera? Masihkah ada ketimpangan?
Jurus-jurus lembaga internasional
tersebut terus-menerus dipertanyakan kesahihannnya. Sebut saja fakta yang
menunjukan bahwa sejak tahun 1980 kemerosotan ekonomi terjadi hampir di 100
negara, di mana penyusutan pendapatan
terjadi atas 1,6 milyar manusia. Fakta lainnya bahwa pendapatan rata-rata 70
dari 100 negara tersebut pada 1990-an lebih sedikit daripada tahun 1980. Bicara
kemiskinan, fakta menunjukan bahwa penduduk termiskin yang jumlahnya sebesar
seperlima penduduk dunia, telah merasakan kemerosotan pendapatan global sejak
30 tahun terakhir, dari 2,3 persen menjadi 1,4 persen (Bruce Rich, 1997).
World Bank sempat mengklaim bahwa
pada tahu 1991 tingkat keberhasilan proyek yang dilakukan oleh mereka meningkat
dari 64 persen ke 76 persen. Namun, demikian hasil yang lebih rill masih kurang
bisa dirasakan oleh berbagai pihak berkepentingan. Bahkan Mohis Khan, salah
satu staf IMF sempat menulis dalam paper-nya:
Although there have been a number
of studies on the subject over the past decade, one cannot say with certainty
whether programs have “work” or not… On the basis of existing studies, one
certainty cannot say whether the adoption of program supported bay the Fund led
to an improvement in inflations and growth performance. In fact it is often found
that programs are associated with a rise of inflation and a fall in the growth
rate.
Masih banyak fakta-fakta lain yang menunjukan
adanya kegagalan lembaga-lembaga internasional dalam menjalankan visi dan misi
mereka. Semua kegagalan tersebut semakin membuktikan adanya inkosistensi
kinerja dari lembaga-lembaga tersebut.
Isu tingginya pertumbuhan ekonomi
sebagai sumbangsih lembaga-lembaga internasional menjadi terbantahkan. Bahkan
di antara negara yang di kenal sebagai “poster children” perdagangan
bebas, yaitu para macan Asia (Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Malaysia),
perbaikan yang terjadi sebenarnya bukan hasil kemauan mereka mengikuti dengan
taat berbagai aturan rezim Bretton Wood, melainkan kemampuan mereka untuk
melakukan kebalikan dari apa yang diinginkan lembaga-lembaga tersebut. Dengan
fakta yang ada, semakin jelaslah pertumbuhan ekonomi yang terjadi sebagai hasil
kinerja para lembaga Bretton Wood hanya sebuah fatamorgana.
Fakta-fakta Kegagalan dan
Kesalahan Lembaga Internasional
Tentunya banyak sekali data yang
mengindikasikan kegagalan lembaga-lembaga internasional dalam mewujudkan
pembangunan masyarakat dunia seutuhnya. Namun, ada beberapa kegagalan dan
kesalahan yang termasuk kategori terparah dalam perjalanan lembaga-lembaga
tersebut. IMF, World Bank dan WTO memiliki “aib” mereka masing-masing.
Tentu saja dampak dari hal tersebut
dirasakan oleh berbagai negara di penjuru dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Bahkan Indonesia
kala itu disebut-sebut sebagai negara terparah akibat krisis Asia Timur tahun
1997. Merupakan suatu hal yang logis jika hal ini disebabkan intervensi dari
lembaga-lembaga internasional tersebut.
- IMF
Tidak
ada yang lebih mencengangkan bagi Indonesia selain krisis yang
dimulai Oktober 1997. Bahkan Stiglitz berani mengatakan bahwa Indonesialah
negara terparah akibat yang terkena dampak krisis moneter kala itu. Krisis itu
dimulai dari nilai tukar rupiah yang terus merosot sebagai akibat capital outflow dan sentimen negatif yang
berlebihan, hal ini tentu saja bakal menyeret kondisi perekonomian menuju
krisis moneter. Pada akhirnya Indonesia
yang sangat kekurangan dana devisa, meminta bantuan akan masalah ini kepada
IMF. Tanpa malu-malu, IMF datang bagai pahlawan perekonomian di Asia Timur.
IMF
memberikan solusi kepada negara-negara kliennya tertuang dalam sebuah SAP (Structural
Adjustment Program) atau yang di Indonesia biasa di kenal dengan
LoI, yang intinya mendorong secara penuh liberalisasi dan deregulasi dalam
sektor keuangan dan badan usaha pemerintahan. Ketika terjadi krisis instruksi
IMF yang paling kontroversial kepada Indonesia
adalah dengan memerintahkan Indonesia
melikuidasi 16 banknya. Dengan alasan pengetatan fiskal, IMF berani menjamin
cara ini akan ampuh dalam menanggulangi krisis. Namun, hal yang diharapkan
tersebut justru tidak terjadi. Selanjutnya malahan terjadi rush di mana-mana. Bank-bank lain pun kekurangan likiudasi dan juga
terancam bangkrut. Kerusuhan di mana-mana, dan IMF tidak pernah sedikit pun
memikirkan hal ini sebelumnya.
Berbeda
dengan Indonesia, negara-negara lain seperti Malaysia, Cina dan Singapura yang
tidak mau tunduk terhadap IMF dalam mengatasi krisis, justru dapat keluar lebih
cepat dari krisis moneter itu. Apa yang sebenarnya ditawarkan IMF bukanlah obat
yang mujarab bagi penyakit yang sedang menjangkiti Indonesia. IMF sering sekali
menggunakan analogi satu obat untuk semua orang dan penyakit. Jadi, IMF merasa
semua krisis ekonomi di dunia dapat diobati dengan kebijakan yang seragam.
Padahal bagi seorang ekonom sudah seharusnya mengetahui konsep the post hoc fallacy di ekonomi
pengantar, di mana seseorang tidak boleh menganggap satu kejadian pasti akibat
dari satu kejadian lain.
IMF
bukanlah dewa yang mampu menanggulangi krisis dengan cepat dan tepat. Bahkan
Stiglitz mengungkapkan bahwa IMF tidaklah seprofesional yang masyarakat dunia ketahui.
Para kritikus menuding bahwa IMF memakai
pendekatan potong kompas (cookie-cutter
approach) dalam bidang ekonomi. Maksudnya adalah, IMF lebih dahulu menyusun draft sebelum melakukan
kunjungan ke negara yang bersangkutan. Lalu bagaimana mungkin solusi yang
diberikan bisa tepat? Bahkan kualitas kerja mereka tidak lebih dari sebuah naskah,
memainkan tombol komputer (copy and paste)
ganti tanggal dan nama negara, lalu menyuruh negara bersangkutan melaksanakan SAP. Staff-staf IMF pun dikenal suka hidup
bergelimangan harta dan suka tinggal di hotel-hotel mewah. Sebuah ironi memang,
bagaimana sebuah lembaga yang seharusnya menjadi penopang di kala krisis ekonomi
melanda negara lain, bertingkah laku layaknya organisasi kemarin sore.
- World Bank
Saudara
kembar dari IMF pun tidak lepas dari berbagai kesalahan-kesalahan dalam
melaksanakan kebijakan. Banyak sekali proyek mubazir yang dijalankan oleh World
Bank. Salah satu lembaga independen, yaitu The World Commission on Dams (WCD) sempat
mengingatkan World Bank untuk tidak terus-menerus membangun dam-dam besar yang
mubazir itu. Karena melalui studi yang mereka lakukan selama ini, menyatakan
bahwa dam-dam yang telah dibangun World Bank di berbagai penjuru dunia tidaklah
efektif dan tepat sasaran. Alih-alih memberikan kontribusi positif melalui
pengairan dan tenaga listrik, dam-dam tersebut malah menimbulkan eksternalitas
negatif bagi lingkungan sekitar. Bahkan keteledoran World Bank juga pernah
disuarakan dari badan-badan audit internal mereka sendiri. Mereka menganggap
World Bank tidak becus dalam melakukan taksiran sebuah proyek.
Pada
tahun 1996, Operations Evaluation Department (OED) menyingkap kegagalan World
Bank dalam pelaksanaan kebijakan masalah penanggulangan kemiskinan atau yang
biasa disebut dengan Poverty Assessments
(PAs). Kebijakan ini berupa bantuan bagi negara-negara miskin di berbagai
negara yang dikenal dengan Country
Assistance Strategies (CAS) .
Pada intinya, OED menyatakan kegagalan ini disebabkan kesalahan dalam prioritas
dan rancangan proyek. PAs hanya berkutat
kepada masalah-masalah besar seperti kondisi makro dan pembaruan struktural
tanpa pernah menyinggung masalah-masalah yang lebih esensi seperti kemiskinan
dan ketimpangan.
Bagaimana
kasus di Indonesia?
Juli 1997 profesor Jeffery Winters, mengungkapkan bahwa bobroknya manajemen
World Bank mengakibatkan 30 persen bantuan dari mereka mudah untuk dikorupsi
pejabat Indonesia selama 30 tahun. Jumlahnya pun sangat fantastis: 8 milyar
dolar! Anehnya temuan tersebut tidak pernah ditanggapi serius oleh World Bank.
Malahan World Bank pada kelanjutannya menjanjikan pinjaman lebih dari 1,3
milyar kepada Indonesia
tanpa pernah serius menggarap masalah kebocoran ini.
Menjadi
pertanyaan besar memang eksistensi World Bank sebagai pendorong pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi dunia. Alih-alih memberikan keadilan bagi seluruh
masyarakat dunia, yang terjadi justru kesalahan-kesalahan yang terus
meningkatkan kemiskinan dan ketidakadilan.
- WTO
WTO sendiri pun tidak lepas dari
kegagalan-kegagalan yang seharusnya dihindari oleh WTO. Malah bisa dibilang WTO
bukan hanya gagal, tapi menunjukan adanya kepentingan negara-negara industri
dalam keberadaannya hingga saat ini, terutama Amerika Serikat dan negara-negara
Eropa. Dari awal pun posisi tawar menawar antara negara maju dan negara
berkembang pun tidak seimbang. Juga rapat-rapat WTO hanya diikuti oleh 30an
negara, yang berarti ada 100an negara yang tidak ikut dalam mengambil keputusan
rapat. Hal itu menunjukan bahwa negara-negara selain negara maju tidak mendapat
peran yang lebih dalam mengambil kebijakan-kebijakan WTO.
Kebijakan-kebijakan
yang dihasilkan oleh WTO sendiri banyak menuai kontroversi bagi negara-negara
berkembang. Kebijakan-kebijakan tersebut utamanya antara lain: TRIPs,
Sanitation and Phytosanitation Standards (SAPS), Agreement on Agriculture
(AoA), General Agreement on Trade Services (GATS).
TRIPs adalah
kebijakan dari WTO yang mengatur akan pematenan hak kekayaan intelektual. Hal
yang mendasari ini adalah dorongan keuntungan ekonomi dan penguasaan pasar oleh
negara-negara industri maju. Melalui TRIPs, negara-negara maju berupaya untuk
mengendalikan penguasaan perdagangan internasional melalui pematenan
produk-produk mereka. Hal ini ternyata dapat berdampak buruk bagi negara-negara
berkembang karena dengan kebijakan-kebijakan seperti ini akan mengakibatkan
tidak adanya transfer teknologi karena apa yang mau ditransfer tersebut sudah
menjadi hak dari negara maju yang mematenkan. Juga sekali lagi dapat menjadi
bumerang bagi negara berkembang karena pematenan hanya pada skala industri,
tidak pada skala pertanian juga. Artinya proses-proses bioteknologi yang
sekarang berhasil menghasilkan bibit-bibit unggul itu tidak dapat dipatenkan
juga. Hal ini dimanfaatkan oleh negara-negara industri maju untuk melakukan
transfer teknologi dan pengetahuan untuk pertaniannya, yang dimana pada
sebaliknya negara-negara berkembang susah untuk mengakses transfer teknologi
pada skala industri.
SAPS, adalah
perjanjian yang membatasi kebijakan pemerintah dalam hal keamanan makanan
(kontaminasi bakteri, pestisida, pemeriksaan dan pelabelan) dan kesehatan
binatang dan tanaman (impor wabah dan penyakit). Perjanjian ini merugikan
karena dapat melemahkan Precautionary
Principle (Prinsip Pencegahan) pada negara-negara yang belum melakukan
penelitian ilmiah untuk menunjukkan bukti tuduhan. Kebijakan ini sebenarnya baik
maksudnya, tapi dapat menimbulkan terlambatnya negara yang diimpor untuk
mencegah wabah atau penyakit dari binatang ataupun tanaman yang masuk ke negara
mereka.
Agreement on
Agriculture (AoA), perjanjian yang dihasilkan dari putaran Uruguay ini,
mengatur perdagangan pangan secara internasional dan dalam negeri.
Aturan-aturan ini memacu laju konsentrasi pertanian ke agribisnis dan dapat
melemahkan kemampuan negara-negara miskin untuk mencukupi kebutuhan swadaya
pangan dengan cara bertani subsistens (bahan pokok penyambung hidup). Hal ini
menyebabkan rendahnya harga komoditas mereka atas jumlah ekspor mereka yang
juga terbatas.
GATS adalah perjanjian yang dimaksudkan
untuk menjadi tata perdagangan bebas dalam bidang jasa. Perjanjian ini
bertujuan untuk meliberalisasi perdagangan jasa dengan menghilangkan hambatan,
kontrol dan regulasi atas penyediaan jasa. Hal yang menakutkan adalah GATS
didasarkan pada prinsip yang memrioraritaskan nilai ekonomis dibandingkan nilai
sosial dari penyediaan jasa. Situasi ini mengarah pada komersialisasi jasa yang
berjalan bersamaan dengan liberalisasi ekonomi yang membatasi peran
negara atau badan publik. Hal ini berimplikasi pada privatisasi pada sektor-sektor
penting seperti air, komunikasi, kesehatan, dan pendidikan. Pengalihan
kewenangan pada swasta juga akan kemudian menimbulkan kesenjangan kekuasaan
antara korporasi dan konsumen/publik. Pengelolaan secara arbitreri oleh swasta
juga akan menimbulkan naiknya tarif layanannya.
Pada WTO
sendiri terdapat juga standar ganda dalam perdagangan internasional, dimana
negara-negara industri maju melibatkan kepentingan mereka dalam WTO Standar
ganda yang dimaksud adalah saat negara-negara maju menggunakan posisi tawar
mereka termasuk di arena WTO dan memaksakannya pada negara-negara lainnya.
Contoh yang kentara dari standar ganda perdagangan internasional ini adalah
kasus Common Agricultural Policy yang diberlakukan ole Uni Eropa.
Common
Agricultural Policy (CAP) adalah kebijakan pertanian yang dirancang oleh Eropa
pada tahun 1950-an. Kondisi Eropa pada tahun tersebut berbeda sekali dengan
kondisi sekarang. CAP muncul dari trauma dan kelaparan akibat perang, sehingga
tidak mengherankan jika CAP mempunyai tujuan menjadikan Eropa dapat mencukupi
kebutuhan pangannya sendiri, menjamin kelayakan hidup petani dan menentukan
harga yang layak bagi konsumen. Akan tetapi lama-lama peningkatan maupun
penurunan pertanian bukanlah masalah bagi orang Eropa karena mereka sudah
mempunyai industri yang maju dan segala bentuk proteksi sosial. Padahal pertanian
hanya sebesar 4% di Uni Eropa dan sebesar 1% di Inggris. Berbeda dengan
negara-negara berkembang seperti Indonesia yang 60% merupakan
pertanian, yang menjadikan eratnya pertumbuhan pertanian dengan pengurangan
kemiskinan pada negara-negara tersebut. Negara-negara berkembang dirugikan
dengan murahnya produk-produk pertanian dari Uni Eropa. CAP telah melukai para
petani di negara-negara berkembang dengan dua cara, yaitu menghancurkan
produsen-produsen di negara berkembang dengan dumping dengan menyubsidi
barang-barang di pasar lokal mereka dan mengurangi potensi ekspor pertanian ke
negara-negara berkembang baik ke negara-negara Eropa maupun pasar-pasar pada
negara ketiga. Dampak dari subsidi tersebut menjadikan 75% keuntungan produsen ekspor di UE berasal dari
CAP, bukan dari pasar.
Saran-saran dan
Kesimpulan
Dari
pemaparan fakta-fakta yang telah ada, terlihat jelas bahwa ada kegagalan
lembaga-lembaga internasional dalam menjalankan roda globalisasi. Kritikan akan
lembaga-lembaga tersebut muncul dari berbagai pihak. Ada beberapa masalah yang sangat fundamental
untuk dibahas dalam rangka menuju globalisasi yang lebih baik. Tentunya ini
melibatkan lembaga-lembaga internasional tersebut untuk berubah ke arah yang
lebih baik.
Isu-isu
masalah transparansi dari lembaga-lembaga tersebut menjadi hak dunia untuk
menjadikan lembaga-lembaga tersebut dapat berjalan dengan sesuai. Selama ini
transparansi di lembaga-lembaga tersebut kurang berjalan dengan baik.
Lembaga-lembaga tersebut sebagai lembaga publik internasional seharusnya dapat
mempertanggungjawabkan apa yang telah dilaksanakan kepada publik. Pada
kenyataannya walaupun mereka adalah lembaga publik, tapi tidak pernah ada
tanggungjawab kepada publik.
Di WTO
seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya sering melakukan negosiasi-negosiasi
penting akan tetapi kesepakatannya sering dilakukan dibalik pintu tertutup.
Banyak negara-negara berkembang lainnya tidak dilibatkan dalam pengambilan
keputusan krusial dalam negosiasi. Sehingga apa yang menjadi keputusan dari WTO
kadang susah diterima negara-negara berkembang dan sudah terlambat saat ingin
melihat ada tidaknya kepentingan negara-negara tertentu atau
perusahaan-perusahaan tertentu.
Sedang tertutupnya IMF dan World Bank
adalah alamiah, karena dalam komunitas keuangan rahasia sudah dianggap sebagai
suatu yang wajar, akan tetapi IMF bukanlah bank swasta, IMF adalah lembaga
publik yang dimana mau tidak mau harus menunjukan transparansinya sehingga
dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Kerahasiaan yang ditunjukan oleh
lembaga-lembaga tersebut bisa karena mereka ingin menutupi borok-borok mereka
baik yang timbul karena kesalahan murni maupun disengaja. Selain itu juga
disinyalir ada kecenderungan untuk menutup-nutupi kepentingan-kepentingan
negara-negara maju seperti yang terjadi pada WTO. Kesalahan mereka jika terbuka
akan menimbulkan turunnya pandangan masyarakat dunia akan keberadaan mereka dan
kredibilitas mereka sebagai pilar-pilar lembaga-lembaga ekonomi internasional.
Isu yang penting lainnya dalam menciptakan
globalisasi yang lebih baik adalah adanya good
governance dari ketiga lembaga tersebut. Sebelumnya kita telah melihat
sebagaimana jauh kegagalan lembaga-lembaga tersebut hingga fakta bahwa dalam menetapkan
aturan main, kepentingan komersial dan keuangan serta berbagai pola pikir
tampaknya mendominasi lembaga-lembaga ekonomi global tersebut.
Governance
di IMF tampak buruk jika kita
amati. Tampak tidak seimbangnya komposisi keberadaan wakil antara “kreditur”
dan “peminjam”. Para
pengangguran karena kebijakan-kebijakan IMF tidak mendapat wakil didalamnya,
sedangkan bankir dan kreditur diwakilkan dengan baik oleh para menteri keuangan
dan gubernur bank sentral. Dari situ maka kebijakan-kebijakan IMF akan menjadi
mudah untuk diprediksi, yaitu paket-paket talangan yang dikeluarkan oleh IMF
akan menjadi lebih mengarah pada pengurusan pelunasan hutang daripada mengurus
dan mencoba menciptakan perekonomian yang memberikan kesempatan kerja penuh. Konsekuensi
dari pilihan manajemen lembaga tersebut juga mudah untuk diprediksi, yaitu
cenderung mencari pemimpin lembaga yang sejalan dengan pemikiran “pemegang
saham” daripada mencari pemimpin yang ahli dalam urusan akan negara-negara
berkembang yang menjadi pokok kegiatan IMF akhir-akhir ini.
Governance
di WTO tampaknya lebih muram dan rumit lagi. Komposisi tawar menawar antar
negara dalam lembaga yang tidak seimbang menunjukan ketidakberesan governance dalam lembaga tersebut.
Negara-negara dengan posisi bargaining yang lebih kuat terlihat mendominasi WTO
walaupun semua negara seharusnya memiliki hak suara yang sama. Tapi sejak
Putaran Doha, negara-negara berkembang tampaknya mulai memiliki posisi
bargaining yang kurang lebih seimbang. Apalagi ditambah masuknya Cina dalam WTO
yang cenderung menunjukan keberpihakan pada negara-negara berkembang walaupun
tidak selalu sama dalam kepentingan-kepentingannya dengan negara berkembang.
Melihat perihal diatas, maka perlu ada
perubahan governance lembaga-lembaga
tersebut seperti hak voting dan memastikan tidak hanya suara para menteri perdagangan
dan menteri keuangan yang didengarkan pada WTO, IMF, dan World Bank.
Tak mudah memang merubah itu semua, tapi
juga tidak perlu keajaiban untuk mewujudkannya. Dalam jangka pendek ada
sejumlah perubahan dalam praktek dan prosedur yang bisa memberikan dampak yang
signifikan. Oleh karena diperlukan kesadaran dari lembaga-lembaga tersebut
untuk membuat sebuah lembaga terpisah yang menangani akan perbaikan governance ini seperti yang diusulkan
oleh Stiglitz:
Jika
negara-negara maju serius memperhatikan suara-suara dari negara-negara
berkembang, mereka seharusnya bisa membiayai sebuah ‘think thank’ – yang
independen dari organisasi-organisasi ekonomi internasional – yang bisa
membantu mereka merumuskan strategi-strategi dan posisi-posisi.(Stiglitz,
2002:316)
Kemudian hal
terakhir yang penting untuk diperhatikan dalam menuju globalisasi yang lebih
baik adalah reformasi lembaga-lembaga tersebut.
Salah satunya yang perlu direformasi adalah perlunya pembedaan antara
ideologi dan ilmu pengetahuan pada lembaga tersebut. Ilmu pengetahuan masih
mengakui keterbatasan pengetahuan seseorang. Sebaliknya, IMF tidak suka akan
ketidakpastian yang ada yang terkait dengan kebijakan-kebijakannya, dan lebih
suka untuk memproyeksikan gambaran yang sempurna. Pola pikir inilah yang
membuat IMF kurang bisa belajar baik dari masa lalu dan jika kebijakannya gagal
cenderung menyalahkan pemerintah.
Selain itu,
reformasi akan conditionality juga
penting untuk diperhatikan. Penerapan persyaratan-persyaratan yang kadang bersifat
politis dan sering tidak mengarah ke kebijakan yang lebih baik perlu untuk
ditinjau ulang.
Juga perlu digiatkan lagi adanya
pembebasan hutang. Perlu disadari bahwa perlunya adanya tanggungjawab pada diri
kreditor, sehingga negara seperti Indonesia
yang hancur karena krisis Asia Timur dan kegagalan-kegagalan
kebijakan-kebijakan IMF di sana
dapat dipertimbangkan untuk pembebasan hutang.
Dari penjabaran-penjabaran diatas pasti
saat ini globalisasi sedang dipertanyakan dimana-mana di dunia. Muncul ketidakpuasan
dan rasa jengah akan globalisasi. Padahal globalisasi memberi banyak manfaat
bagi kita, akan tetapi yang salah dari globalisasi ini adalah lembaga-lembaga
Bretton Woods yang gagal menjalankan fungsinya dengan seksama. Juga kesalahan
datang dari negara-negara berkembang yang terlalu tergantung pada hutang luar
negeri dan juga sistem pemerintahan mereka yang kacau juga ditambah oleh
merebaknya korupsi.
Sedang negara-negara maju perlu melakukan
peran pentingnya untuk mereformasi lembaga-lembaga internasional yang mengatur
globalisasi. Mereka yang mendirikan lembaga-lembaga tersebut dan mereka pula
yang perlu bekerja untuk memperbaikinya. Untuk membuat globalisasi diterima,
untuk meluruskan masalah ketidakpuasan akan globalisasi, dan jika mewujudkan
globalisasi yang lebih manusiawi.
Daftar Pustaka
Baswir, Revrisond. 2006. Mafia Berkeley. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Chossudovsky, Michel. 1998.
The Globalisation of Poverty: Impact of IMF and World Bank Reform. Sidney: Pluto Press.
Gie, Kwik Kian. 2006. Kebijakan
Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar. Jakarta:
Kompas.
Hancock. Graham. 2005. Dewa-Dewa Pencipta Kemiskinan. Yogyakarta: Cindelaras
International Forum of
Globalization. 2003. Globalisasi kemiskinan dan ketimpangan. Yogyakarta: Cindelaras.
Justice and Piece
Institute. 2003. Fair Trade: Sebuah Alternatif Positif. Surakarta: Yayasan
Samadi.
Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap Kejahatan Industri Pangan. Yogyakarta: Resist Book.
Mubyarto. 2000. Membangun Sistem Ekonomi. Yogyakarta: BPFE.
Stiglitz, Joseph. 2003. Globalisasi
dan Kegagalan Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional. Jakarta: Ina Publikatama.
____________. 2006. Dekade
Keserakahan: Era ’90-an san Awal Mula Petaka Ekonomi dunia.
Tangerang: Marjin Kiri.
Sumber: http://jendralaulia.multiply.com/journal/item/9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar