Social Icons

Pages

Jumat, 14 Desember 2012

Mengkritisi Lembaga-Lembaga Bretton Woods:
Menuju Globalisasi yang Manusiawi
Alvin Adisasmita
dan
Aulia Rachman Alfahmy
“Globalisasi tampaknya kian memerbesar tingkat kemiskinan dan ketimpangan… Biaya-biaya untuk penyesuaian demi keterbukaan yang lebih besar ditanggung sepenuhnya oleh kaum miskin, berapa pun lamanya waktu penyesuaian itu berlangsung.”
-World Bank, The simultaneous Evolution of Growth an Inequality, 1999
Latar Belakang
Globalisasi dalam beberapa tahun belakangan ini menjadi isu hangat untuk dibicarakan di berbagai kalangan. Bagaikan sebuah mantra, globalisasi dianggap sebagai jalan keluar instan yang dipercaya mampu meningkatkan kesejahteraan seluruh manusia. Globalisasi seakan sebuah aksioma di mana eksistensinya menjadi tidak perlu diperdebatkan lagi.
Lembaga-lembaga internasional berada di balik pergerakan global tersebut. Mereka sebagai penganut aliran neo-liberal, percaya bahwa adanya globalisasi akan secara masif mendorong pertumbuhan ekonomi di semua negara. Pada dasarnya, globalisasi memang suatu hal yang tidak dapat dihindari atau bahkan dihilangkan. Globalisasi dapat memberikan keleluasaan bagi arus barang dan jasa secara kompetitif. Hal ini tentunya akan membuahkan mekanisme ekonomi yang efisien. Semua ini berujung pada peningkatan kesejahteraan secara luas. Inilah esensi dari sebuah globalisasi, di mana dalam dataran idealita globalisasi justru hal yang baik dan dibutuhkan dalam evolusi peradaban manusia.
Oleh karena itu, para pemuka ekonomi dunia menggagas pembentukan beberapa organisasi internasional dalam rangka mengakomodasi jalannya globalisasi. IMF dan World Bank menjadi produk-produk pertama dalam misi ini. Disusul kemudian WTO yang merupakan bentukan dari GATT tahun 1995. Adanya Lembaga-lembaga tersebut dianggap menjadi sebuah jawaban yang tepat dalam rangka mensejahterakan kehidupan masyarakat dunia di tengah era globalisasi.
Namun, dalam tataran empiris tidaklah demikian adanya. Fakta menunjukan bahwa di tengah meningkatnya rata-rata pendapatan masyarakat dunia dari tahun 1990-2000 sebesar 2,5% justru terjadi penambahan orang miskin sebanyak 100 juta jiwa (Stiglitz, 2002:6). Hal lain perlu diperhatikan adalah pinjaman sebesar 1000 milyar dolar yang diberikan oleh IMF dan World Bank sejak tahun 1960-an telah terbukti gagal dalam mencapai tujuan awalnya. Belum lagi masalah kebijakan perdagangan dilakukan oleh Amerika secara kontroversial, di mana WTO yang notabene sebagai penjamin terciptanya perdagangan yang adil, tidak mampu berbuat apa-apa atas kehendak negara adikuasa tersebut. Hal ini sekali lagi membuktikan adanya kesalahan dalam pengelolaan globalisasi.
Nampaknya ada sebuah anomali dalam perjalanan globalisasi hingga saat ini. Globalisasi yang dikendarai oleh negara-negara maju melalui lembaga internasionalnya justru menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Terus meningkatnya ketimpangan merupakan bukti nyata gagalnya lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsinya sebagai sebuah lembaga publik internasional. Globalisasi yang diidamkan pun turut sirna seiring dengan kemiskinan yang merajalela.
Benarkah lembaga-lembaga tersebut dibutuhkan masyarakat dunia? Bagaimana cara agar globalisasi berjalan pada jalur yang tepat di bawah kendali lembaga-lembaga tersebut. Pada dasarnya, lembaga-lembaga inilah yang seharusnya menempati posisi kunci dalam kemajuan peradaban manusia di tengah era globalisasi. Namun sebagaimana yang telah diketahui melalui fakta-fakta di seluruh dunia, peran mereka masih menyimpan ribuan tanda tanya.
Bretton Wood: Tempat Lahirnya Lembaga-Lembaga Publik Internasional yang Gagal
Pada Tahun 1944 tepatnya tanggal 22 Juli diadakanlah pertemuan internasional membahas masalah ekonomi dunia pasca perang dunia ke-2. Pertemuan itu dikenal dengan The United Nations Monetary and Financial Conference, atau biasa dikenal dengan Bretton Woods conference yang dimana salah satu tamunya adalah John Maynard Keynes. Konferensi ini merupakan bagian dari upaya terorganisir untuk mendanai restrukturisasi Eropa pasca Perang Dunia II dan untuk menyelamatkan dunia dari depresi seperti The Great Depression pada 1930an. Dari konferensi ini menghasilkan tiga lembaga internasional, yaitu International Monetary Fund (IMF), International Bank for Reconstructions and Development (IBRD), dan International Trade Organization (ITO) yang akan dijadikan sebagai pilar-pilar ekonomi internasional. Tetapi ITO tidak berhasil dibentuk, karena Kongres Amerika Serikat tidak meratifikasi rancangannya karena dipandang dapat menggerogoti kedaulatan bangsa. Kemudian didirikan General Agreement on Tariff and Trade (GATT), sebuah format kerjasama yang lebih longgar pada tahun 1947. Baru berubah menjadi World Trade Organization (WTO) formalnya pada tanggal 1 Januari 1997 dan sudah dibahas sebelumnya pada Putaran Uruguay (1986 – 1994), dengan begitu menandai kelengkapan produk konferensi Bretton Woods selain IMF dan World Bank. Fungsi dari IMF dan World Bank sendiri adalah untuk menciptakan stabilisasi global dan mendanai pembangunan dunia. Sedangkan WTO sendiri merupakan lembaga internasional yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas perdagangan dan berfungsi sebagai wasit dalam perdagangan internasional.
Fatamorgana Pembangunan Ekonomi oleh Lembaga Bretton Wood.
East asian miracle, menjadi kata-kata magis bagi keberhasilan lembaga-lembaga internasional dalam menjalankan program bantuannya. Pertumbuhan hampir di seluruh Asia timur mencapai angka yang membanggakan pada tahun 1960-an sampai 1990-an. Tentu saja IMF dan World Bank dengan segera mengklaim peran mereka bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia tersebut. Proyek-proyek berskala besar yang ditalangi melalui bantuan lembaga-lembaga internasional, menjadikan negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga mampu menggenjot laju pertumbuhan ekonominya secara pesat.
Muncullah anggapan bahwa pertumbuhan akan menstimulus segala aspek ekonomi. Gagasan yang biasa dikenal dengan trickle down effect pada akhirnya menjadikan para penentu kebijakan di negara-negara berkembang berlomba-lomba untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang setinggi-tingginya. Semua itu dijalankan dengan dua prinsip pola pemikiran yang bagi lembaga internasional diyakini sebagai motor pertumbuhan ekonomi:
  1. Pertumbuhan dan peningkatan perdagangan dicapai melalui deregulasi dan privatisasi yang akan berujung pada peningkatan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
  2. Peningkatan investasi asing di negara-negara Dunia ketiga akan memerbesar kapasitas produksi dan pembangunan, yang serta merta meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin.
Yang menjadi pertanyaan besar adalah, apakah globalisasi dengan IMF, World Bank dan WTO benar-benar telah menurunkan tingkat kemiskinan? Benarkah rakyat di dunia menjadi sejahtera? Masihkah ada ketimpangan?
Jurus-jurus lembaga internasional tersebut terus-menerus dipertanyakan kesahihannnya. Sebut saja fakta yang menunjukan bahwa sejak tahun 1980 kemerosotan ekonomi terjadi hampir di 100 negara, di mana penyusutan pendapatan terjadi atas 1,6 milyar manusia. Fakta lainnya bahwa pendapatan rata-rata 70 dari 100 negara tersebut pada 1990-an lebih sedikit daripada tahun 1980. Bicara kemiskinan, fakta menunjukan bahwa penduduk termiskin yang jumlahnya sebesar seperlima penduduk dunia, telah merasakan kemerosotan pendapatan global sejak 30 tahun terakhir, dari 2,3 persen menjadi 1,4 persen (Bruce Rich, 1997).
World Bank sempat mengklaim bahwa pada tahu 1991 tingkat keberhasilan proyek yang dilakukan oleh mereka meningkat dari 64 persen ke 76 persen. Namun, demikian hasil yang lebih rill masih kurang bisa dirasakan oleh berbagai pihak berkepentingan. Bahkan Mohis Khan, salah satu staf IMF sempat menulis dalam paper-nya:
Although there have been a number of studies on the subject over the past decade, one cannot say with certainty whether programs have “work” or not… On the basis of existing studies, one certainty cannot say whether the adoption of program supported bay the Fund led to an improvement in inflations and growth performance. In fact it is often found that programs are associated with a rise of inflation and a fall in the growth rate.
Masih banyak fakta-fakta lain yang menunjukan adanya kegagalan lembaga-lembaga internasional dalam menjalankan visi dan misi mereka. Semua kegagalan tersebut semakin membuktikan adanya inkosistensi kinerja dari lembaga-lembaga tersebut.
Isu tingginya pertumbuhan ekonomi sebagai sumbangsih lembaga-lembaga internasional menjadi terbantahkan. Bahkan di antara negara yang di kenal sebagai “poster children” perdagangan bebas, yaitu para macan Asia (Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Malaysia), perbaikan yang terjadi sebenarnya bukan hasil kemauan mereka mengikuti dengan taat berbagai aturan rezim Bretton Wood, melainkan kemampuan mereka untuk melakukan kebalikan dari apa yang diinginkan lembaga-lembaga tersebut. Dengan fakta yang ada, semakin jelaslah pertumbuhan ekonomi yang terjadi sebagai hasil kinerja para lembaga Bretton Wood hanya sebuah fatamorgana.
Fakta-fakta Kegagalan dan Kesalahan Lembaga Internasional
Tentunya banyak sekali data yang mengindikasikan kegagalan lembaga-lembaga internasional dalam mewujudkan pembangunan masyarakat dunia seutuhnya. Namun, ada beberapa kegagalan dan kesalahan yang termasuk kategori terparah dalam perjalanan lembaga-lembaga tersebut. IMF, World Bank dan WTO memiliki “aib” mereka masing-masing.
Tentu saja dampak dari hal tersebut dirasakan oleh berbagai negara di penjuru dunia, tidak terkecuali Indonesia. Bahkan Indonesia kala itu disebut-sebut sebagai negara terparah akibat krisis Asia Timur tahun 1997. Merupakan suatu hal yang logis jika hal ini disebabkan intervensi dari lembaga-lembaga internasional tersebut.
  1. IMF
Tidak ada yang lebih mencengangkan bagi Indonesia selain krisis yang dimulai Oktober 1997. Bahkan Stiglitz berani mengatakan bahwa Indonesialah negara terparah akibat yang terkena dampak krisis moneter kala itu. Krisis itu dimulai dari nilai tukar rupiah yang terus merosot sebagai akibat capital outflow dan sentimen negatif yang berlebihan, hal ini tentu saja bakal menyeret kondisi perekonomian menuju krisis moneter. Pada akhirnya Indonesia yang sangat kekurangan dana devisa, meminta bantuan akan masalah ini kepada IMF. Tanpa malu-malu, IMF datang bagai pahlawan perekonomian di Asia Timur.
IMF memberikan solusi kepada negara-negara kliennya tertuang dalam sebuah SAP (Structural Adjustment Program) atau yang di Indonesia biasa di kenal dengan LoI, yang intinya mendorong secara penuh liberalisasi dan deregulasi dalam sektor keuangan dan badan usaha pemerintahan. Ketika terjadi krisis instruksi IMF yang paling kontroversial kepada Indonesia adalah dengan memerintahkan Indonesia melikuidasi 16 banknya. Dengan alasan pengetatan fiskal, IMF berani menjamin cara ini akan ampuh dalam menanggulangi krisis. Namun, hal yang diharapkan tersebut justru tidak terjadi. Selanjutnya malahan terjadi rush di mana-mana. Bank-bank lain pun kekurangan likiudasi dan juga terancam bangkrut. Kerusuhan di mana-mana, dan IMF tidak pernah sedikit pun memikirkan hal ini sebelumnya.
Berbeda dengan Indonesia, negara-negara lain seperti Malaysia, Cina dan Singapura yang tidak mau tunduk terhadap IMF dalam mengatasi krisis, justru dapat keluar lebih cepat dari krisis moneter itu. Apa yang sebenarnya ditawarkan IMF bukanlah obat yang mujarab bagi penyakit yang sedang menjangkiti Indonesia. IMF sering sekali menggunakan analogi satu obat untuk semua orang dan penyakit. Jadi, IMF merasa semua krisis ekonomi di dunia dapat diobati dengan kebijakan yang seragam. Padahal bagi seorang ekonom sudah seharusnya mengetahui konsep the post hoc fallacy di ekonomi pengantar, di mana seseorang tidak boleh menganggap satu kejadian pasti akibat dari satu kejadian lain.
IMF bukanlah dewa yang mampu menanggulangi krisis dengan cepat dan tepat. Bahkan Stiglitz mengungkapkan bahwa IMF tidaklah seprofesional yang masyarakat dunia ketahui. Para kritikus menuding bahwa IMF memakai pendekatan potong kompas (cookie-cutter approach) dalam bidang ekonomi. Maksudnya adalah, IMF lebih dahulu menyusun draft sebelum melakukan kunjungan ke negara yang bersangkutan. Lalu bagaimana mungkin solusi yang diberikan bisa tepat? Bahkan kualitas kerja mereka tidak lebih dari sebuah naskah, memainkan tombol komputer (copy and paste) ganti tanggal dan nama negara, lalu menyuruh negara bersangkutan melaksanakan SAP. Staff-staf IMF pun dikenal suka hidup bergelimangan harta dan suka tinggal di hotel-hotel mewah. Sebuah ironi memang, bagaimana sebuah lembaga yang seharusnya menjadi penopang di kala krisis ekonomi melanda negara lain, bertingkah laku layaknya organisasi kemarin sore.
  1. World Bank
Saudara kembar dari IMF pun tidak lepas dari berbagai kesalahan-kesalahan dalam melaksanakan kebijakan. Banyak sekali proyek mubazir yang dijalankan oleh World Bank. Salah satu lembaga independen, yaitu The World Commission on Dams (WCD) sempat mengingatkan World Bank untuk tidak terus-menerus membangun dam-dam besar yang mubazir itu. Karena melalui studi yang mereka lakukan selama ini, menyatakan bahwa dam-dam yang telah dibangun World Bank di berbagai penjuru dunia tidaklah efektif dan tepat sasaran. Alih-alih memberikan kontribusi positif melalui pengairan dan tenaga listrik, dam-dam tersebut malah menimbulkan eksternalitas negatif bagi lingkungan sekitar. Bahkan keteledoran World Bank juga pernah disuarakan dari badan-badan audit internal mereka sendiri. Mereka menganggap World Bank tidak becus dalam melakukan taksiran sebuah proyek.
Pada tahun 1996, Operations Evaluation Department (OED) menyingkap kegagalan World Bank dalam pelaksanaan kebijakan masalah penanggulangan kemiskinan atau yang biasa disebut dengan Poverty Assessments (PAs). Kebijakan ini berupa bantuan bagi negara-negara miskin di berbagai negara yang dikenal dengan Country Assistance Strategies (CAS) . Pada intinya, OED menyatakan kegagalan ini disebabkan kesalahan dalam prioritas dan rancangan proyek. PAs hanya berkutat kepada masalah-masalah besar seperti kondisi makro dan pembaruan struktural tanpa pernah menyinggung masalah-masalah yang lebih esensi seperti kemiskinan dan ketimpangan.
Bagaimana kasus di Indonesia? Juli 1997 profesor Jeffery Winters, mengungkapkan bahwa bobroknya manajemen World Bank mengakibatkan 30 persen bantuan dari mereka mudah untuk dikorupsi pejabat Indonesia selama 30 tahun. Jumlahnya pun sangat fantastis: 8 milyar dolar! Anehnya temuan tersebut tidak pernah ditanggapi serius oleh World Bank. Malahan World Bank pada kelanjutannya menjanjikan pinjaman lebih dari 1,3 milyar kepada Indonesia tanpa pernah serius menggarap masalah kebocoran ini.
Menjadi pertanyaan besar memang eksistensi World Bank sebagai pendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dunia. Alih-alih memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat dunia, yang terjadi justru kesalahan-kesalahan yang terus meningkatkan kemiskinan dan ketidakadilan.
  1. WTO
WTO sendiri pun tidak lepas dari kegagalan-kegagalan yang seharusnya dihindari oleh WTO. Malah bisa dibilang WTO bukan hanya gagal, tapi menunjukan adanya kepentingan negara-negara industri dalam keberadaannya hingga saat ini, terutama Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Dari awal pun posisi tawar menawar antara negara maju dan negara berkembang pun tidak seimbang. Juga rapat-rapat WTO hanya diikuti oleh 30an negara, yang berarti ada 100an negara yang tidak ikut dalam mengambil keputusan rapat. Hal itu menunjukan bahwa negara-negara selain negara maju tidak mendapat peran yang lebih dalam mengambil kebijakan-kebijakan WTO.
Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh WTO sendiri banyak menuai kontroversi bagi negara-negara berkembang. Kebijakan-kebijakan tersebut utamanya antara lain: TRIPs, Sanitation and Phytosanitation Standards (SAPS), Agreement on Agriculture (AoA), General Agreement on Trade Services (GATS).
TRIPs adalah kebijakan dari WTO yang mengatur akan pematenan hak kekayaan intelektual. Hal yang mendasari ini adalah dorongan keuntungan ekonomi dan penguasaan pasar oleh negara-negara industri maju. Melalui TRIPs, negara-negara maju berupaya untuk mengendalikan penguasaan perdagangan internasional melalui pematenan produk-produk mereka. Hal ini ternyata dapat berdampak buruk bagi negara-negara berkembang karena dengan kebijakan-kebijakan seperti ini akan mengakibatkan tidak adanya transfer teknologi karena apa yang mau ditransfer tersebut sudah menjadi hak dari negara maju yang mematenkan. Juga sekali lagi dapat menjadi bumerang bagi negara berkembang karena pematenan hanya pada skala industri, tidak pada skala pertanian juga. Artinya proses-proses bioteknologi yang sekarang berhasil menghasilkan bibit-bibit unggul itu tidak dapat dipatenkan juga. Hal ini dimanfaatkan oleh negara-negara industri maju untuk melakukan transfer teknologi dan pengetahuan untuk pertaniannya, yang dimana pada sebaliknya negara-negara berkembang susah untuk mengakses transfer teknologi pada skala industri.
SAPS, adalah perjanjian yang membatasi kebijakan pemerintah dalam hal keamanan makanan (kontaminasi bakteri, pestisida, pemeriksaan dan pelabelan) dan kesehatan binatang dan tanaman (impor wabah dan penyakit). Perjanjian ini merugikan karena dapat melemahkan Precautionary Principle (Prinsip Pencegahan) pada negara-negara yang belum melakukan penelitian ilmiah untuk menunjukkan bukti tuduhan. Kebijakan ini sebenarnya baik maksudnya, tapi dapat menimbulkan terlambatnya negara yang diimpor untuk mencegah wabah atau penyakit dari binatang ataupun tanaman yang masuk ke negara mereka.
Agreement on Agriculture (AoA), perjanjian yang dihasilkan dari putaran Uruguay ini, mengatur perdagangan pangan secara internasional dan dalam negeri. Aturan-aturan ini memacu laju konsentrasi pertanian ke agribisnis dan dapat melemahkan kemampuan negara-negara miskin untuk mencukupi kebutuhan swadaya pangan dengan cara bertani subsistens (bahan pokok penyambung hidup). Hal ini menyebabkan rendahnya harga komoditas mereka atas jumlah ekspor mereka yang juga terbatas.
GATS adalah perjanjian yang dimaksudkan untuk menjadi tata perdagangan bebas dalam bidang jasa. Perjanjian ini bertujuan untuk meliberalisasi perdagangan jasa dengan menghilangkan hambatan, kontrol dan regulasi atas penyediaan jasa. Hal yang menakutkan adalah GATS didasarkan pada prinsip yang memrioraritaskan nilai ekonomis dibandingkan nilai sosial dari penyediaan jasa. Situasi ini mengarah pada komersialisasi jasa yang berjalan bersamaan dengan liberalisasi ekonomi yang membatasi peran negara atau badan publik. Hal ini berimplikasi pada privatisasi pada sektor-sektor penting seperti air, komunikasi, kesehatan, dan pendidikan. Pengalihan kewenangan pada swasta juga akan kemudian menimbulkan kesenjangan kekuasaan antara korporasi dan konsumen/publik. Pengelolaan secara arbitreri oleh swasta juga akan menimbulkan naiknya tarif layanannya.
Pada WTO sendiri terdapat juga standar ganda dalam perdagangan internasional, dimana negara-negara industri maju melibatkan kepentingan mereka dalam WTO Standar ganda yang dimaksud adalah saat negara-negara maju menggunakan posisi tawar mereka termasuk di arena WTO dan memaksakannya pada negara-negara lainnya. Contoh yang kentara dari standar ganda perdagangan internasional ini adalah kasus Common Agricultural Policy yang diberlakukan ole Uni Eropa.
Common Agricultural Policy (CAP) adalah kebijakan pertanian yang dirancang oleh Eropa pada tahun 1950-an. Kondisi Eropa pada tahun tersebut berbeda sekali dengan kondisi sekarang. CAP muncul dari trauma dan kelaparan akibat perang, sehingga tidak mengherankan jika CAP mempunyai tujuan menjadikan Eropa dapat mencukupi kebutuhan pangannya sendiri, menjamin kelayakan hidup petani dan menentukan harga yang layak bagi konsumen. Akan tetapi lama-lama peningkatan maupun penurunan pertanian bukanlah masalah bagi orang Eropa karena mereka sudah mempunyai industri yang maju dan segala bentuk proteksi sosial. Padahal pertanian hanya sebesar 4% di Uni Eropa dan sebesar 1% di Inggris. Berbeda dengan negara-negara berkembang seperti Indonesia yang 60% merupakan pertanian, yang menjadikan eratnya pertumbuhan pertanian dengan pengurangan kemiskinan pada negara-negara tersebut. Negara-negara berkembang dirugikan dengan murahnya produk-produk pertanian dari Uni Eropa. CAP telah melukai para petani di negara-negara berkembang dengan dua cara, yaitu menghancurkan produsen-produsen di negara berkembang dengan dumping dengan menyubsidi barang-barang di pasar lokal mereka dan mengurangi potensi ekspor pertanian ke negara-negara berkembang baik ke negara-negara Eropa maupun pasar-pasar pada negara ketiga. Dampak dari subsidi tersebut menjadikan 75% keuntungan produsen ekspor di UE berasal dari CAP, bukan dari pasar.
Saran-saran dan Kesimpulan
Dari pemaparan fakta-fakta yang telah ada, terlihat jelas bahwa ada kegagalan lembaga-lembaga internasional dalam menjalankan roda globalisasi. Kritikan akan lembaga-lembaga tersebut muncul dari berbagai pihak. Ada beberapa masalah yang sangat fundamental untuk dibahas dalam rangka menuju globalisasi yang lebih baik. Tentunya ini melibatkan lembaga-lembaga internasional tersebut untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Isu-isu masalah transparansi dari lembaga-lembaga tersebut menjadi hak dunia untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut dapat berjalan dengan sesuai. Selama ini transparansi di lembaga-lembaga tersebut kurang berjalan dengan baik. Lembaga-lembaga tersebut sebagai lembaga publik internasional seharusnya dapat mempertanggungjawabkan apa yang telah dilaksanakan kepada publik. Pada kenyataannya walaupun mereka adalah lembaga publik, tapi tidak pernah ada tanggungjawab kepada publik.
Di WTO seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya sering melakukan negosiasi-negosiasi penting akan tetapi kesepakatannya sering dilakukan dibalik pintu tertutup. Banyak negara-negara berkembang lainnya tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan krusial dalam negosiasi. Sehingga apa yang menjadi keputusan dari WTO kadang susah diterima negara-negara berkembang dan sudah terlambat saat ingin melihat ada tidaknya kepentingan negara-negara tertentu atau perusahaan-perusahaan tertentu.
Sedang tertutupnya IMF dan World Bank adalah alamiah, karena dalam komunitas keuangan rahasia sudah dianggap sebagai suatu yang wajar, akan tetapi IMF bukanlah bank swasta, IMF adalah lembaga publik yang dimana mau tidak mau harus menunjukan transparansinya sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Kerahasiaan yang ditunjukan oleh lembaga-lembaga tersebut bisa karena mereka ingin menutupi borok-borok mereka baik yang timbul karena kesalahan murni maupun disengaja. Selain itu juga disinyalir ada kecenderungan untuk menutup-nutupi kepentingan-kepentingan negara-negara maju seperti yang terjadi pada WTO. Kesalahan mereka jika terbuka akan menimbulkan turunnya pandangan masyarakat dunia akan keberadaan mereka dan kredibilitas mereka sebagai pilar-pilar lembaga-lembaga ekonomi internasional.
Isu yang penting lainnya dalam menciptakan globalisasi yang lebih baik adalah adanya good governance dari ketiga lembaga tersebut. Sebelumnya kita telah melihat sebagaimana jauh kegagalan lembaga-lembaga tersebut hingga fakta bahwa dalam menetapkan aturan main, kepentingan komersial dan keuangan serta berbagai pola pikir tampaknya mendominasi lembaga-lembaga ekonomi global tersebut.
Governance di IMF tampak buruk jika kita amati. Tampak tidak seimbangnya komposisi keberadaan wakil antara “kreditur” dan “peminjam”. Para pengangguran karena kebijakan-kebijakan IMF tidak mendapat wakil didalamnya, sedangkan bankir dan kreditur diwakilkan dengan baik oleh para menteri keuangan dan gubernur bank sentral. Dari situ maka kebijakan-kebijakan IMF akan menjadi mudah untuk diprediksi, yaitu paket-paket talangan yang dikeluarkan oleh IMF akan menjadi lebih mengarah pada pengurusan pelunasan hutang daripada mengurus dan mencoba menciptakan perekonomian yang memberikan kesempatan kerja penuh. Konsekuensi dari pilihan manajemen lembaga tersebut juga mudah untuk diprediksi, yaitu cenderung mencari pemimpin lembaga yang sejalan dengan pemikiran “pemegang saham” daripada mencari pemimpin yang ahli dalam urusan akan negara-negara berkembang yang menjadi pokok kegiatan IMF akhir-akhir ini.
Governance di WTO tampaknya lebih muram dan rumit lagi. Komposisi tawar menawar antar negara dalam lembaga yang tidak seimbang menunjukan ketidakberesan governance dalam lembaga tersebut. Negara-negara dengan posisi bargaining yang lebih kuat terlihat mendominasi WTO walaupun semua negara seharusnya memiliki hak suara yang sama. Tapi sejak Putaran Doha, negara-negara berkembang tampaknya mulai memiliki posisi bargaining yang kurang lebih seimbang. Apalagi ditambah masuknya Cina dalam WTO yang cenderung menunjukan keberpihakan pada negara-negara berkembang walaupun tidak selalu sama dalam kepentingan-kepentingannya dengan negara berkembang.
Melihat perihal diatas, maka perlu ada perubahan governance lembaga-lembaga tersebut seperti hak voting dan memastikan tidak hanya suara para menteri perdagangan dan menteri keuangan yang didengarkan pada WTO, IMF, dan World Bank.
Tak mudah memang merubah itu semua, tapi juga tidak perlu keajaiban untuk mewujudkannya. Dalam jangka pendek ada sejumlah perubahan dalam praktek dan prosedur yang bisa memberikan dampak yang signifikan. Oleh karena diperlukan kesadaran dari lembaga-lembaga tersebut untuk membuat sebuah lembaga terpisah yang menangani akan perbaikan governance ini seperti yang diusulkan oleh Stiglitz:
Jika negara-negara maju serius memperhatikan suara-suara dari negara-negara berkembang, mereka seharusnya bisa membiayai sebuah ‘think thank’ – yang independen dari organisasi-organisasi ekonomi internasional – yang bisa membantu mereka merumuskan strategi-strategi dan posisi-posisi.(Stiglitz, 2002:316)
Kemudian hal terakhir yang penting untuk diperhatikan dalam menuju globalisasi yang lebih baik adalah reformasi lembaga-lembaga tersebut. Salah satunya yang perlu direformasi adalah perlunya pembedaan antara ideologi dan ilmu pengetahuan pada lembaga tersebut. Ilmu pengetahuan masih mengakui keterbatasan pengetahuan seseorang. Sebaliknya, IMF tidak suka akan ketidakpastian yang ada yang terkait dengan kebijakan-kebijakannya, dan lebih suka untuk memproyeksikan gambaran yang sempurna. Pola pikir inilah yang membuat IMF kurang bisa belajar baik dari masa lalu dan jika kebijakannya gagal cenderung menyalahkan pemerintah.
Selain itu, reformasi akan conditionality juga penting untuk diperhatikan. Penerapan persyaratan-persyaratan yang kadang bersifat politis dan sering tidak mengarah ke kebijakan yang lebih baik perlu untuk ditinjau ulang.
Juga perlu digiatkan lagi adanya pembebasan hutang. Perlu disadari bahwa perlunya adanya tanggungjawab pada diri kreditor, sehingga negara seperti Indonesia yang hancur karena krisis Asia Timur dan kegagalan-kegagalan kebijakan-kebijakan IMF di sana dapat dipertimbangkan untuk pembebasan hutang.
Dari penjabaran-penjabaran diatas pasti saat ini globalisasi sedang dipertanyakan dimana-mana di dunia. Muncul ketidakpuasan dan rasa jengah akan globalisasi. Padahal globalisasi memberi banyak manfaat bagi kita, akan tetapi yang salah dari globalisasi ini adalah lembaga-lembaga Bretton Woods yang gagal menjalankan fungsinya dengan seksama. Juga kesalahan datang dari negara-negara berkembang yang terlalu tergantung pada hutang luar negeri dan juga sistem pemerintahan mereka yang kacau juga ditambah oleh merebaknya korupsi.
Sedang negara-negara maju perlu melakukan peran pentingnya untuk mereformasi lembaga-lembaga internasional yang mengatur globalisasi. Mereka yang mendirikan lembaga-lembaga tersebut dan mereka pula yang perlu bekerja untuk memperbaikinya. Untuk membuat globalisasi diterima, untuk meluruskan masalah ketidakpuasan akan globalisasi, dan jika mewujudkan globalisasi yang lebih manusiawi.


Daftar Pustaka
Baswir, Revrisond. 2006. Mafia Berkeley. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Chossudovsky, Michel. 1998. The Globalisation of Poverty: Impact of IMF and World Bank Reform. Sidney: Pluto Press.
Gie, Kwik Kian. 2006. Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar. Jakarta: Kompas.
Hancock. Graham. 2005. Dewa-Dewa Pencipta Kemiskinan. Yogyakarta: Cindelaras
International Forum of Globalization. 2003. Globalisasi kemiskinan dan ketimpangan. Yogyakarta: Cindelaras.
Justice and Piece Institute. 2003. Fair Trade: Sebuah Alternatif Positif. Surakarta: Yayasan Samadi.
Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap Kejahatan Industri Pangan. Yogyakarta: Resist Book.
Mubyarto. 2000. Membangun Sistem Ekonomi. Yogyakarta: BPFE.
Stiglitz, Joseph. 2003. Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional. Jakarta: Ina Publikatama.
____________. 2006. Dekade Keserakahan: Era ’90-an san Awal Mula Petaka Ekonomi dunia. Tangerang: Marjin Kiri.

Sumber: http://jendralaulia.multiply.com/journal/item/9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Media Berbagi Informasi